Jumat, 12 September 2008

HAK ASUH ANAK HASIL NIKAH TAK TERCATAT

Pertanyaan:
Yang kami hormati Bapak pengasuh konsultasi hukum. Dengan ini saya ingin menanyakan permasalahan kakak saya, dengan uraian sebagai berikut: kakak saya sebut saja namanya W telah menikah dengan seorang laki-laki sebut saja namanya P. Perkawinan mereke berdua sejak semula tidak mendapat restu dari orang tua kami. Orang tua beralasan karena perbedaan keyakinan. P adalah seorang yang belum bekerja (pengangguran), namun W tetap saja nekat untuk menikah dan pindah keyakinan mengikuti keyakinan P. Alhamdulillah saat ini mereka telah dikarunia seorang anak perempuan yang cantik berumur satu tahun.
Perkawinan mereka berdua dilakukan berdasarkan keyakinan P. Selidik punya selidik ternyata perkawinan tersebut tidak didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Perlu untuk diketahui selama dalam perkawinan, W sering mendapat kekerasan dari P maupun dari orang tuanya (mertua W). Melihat kenyataan tersebut, W tidak tahan lagi akhirnya W pergi meninggalkan P dan pulang ke rumah orang tua kami. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah, bahwa anak perempuan hasil perkawinan W dan P semenjak lahir dirawat oleh orang tua P, bahkan W dilarang merawatnya dan saat inipun W justru tidak dibolehkan menemui anaknya.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah secara hukum kakak saya/W bisa mendapatkan dan mengasuh anaknya? Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya. (Rika/Padang)

Jawab
Yang kami hormati saudari Rika. Pertama kami mengucapkan terimakasih atas perhatian saudari Rika pada rubrik konsultasi hukum ini, semoga jawaban yang kami sampaikan dapat membantu saudari dan keluarga menyelesaikan masalah kakak saudari.
Menilik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak didaftarkannya perkawinan ke Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinan bagi pemeluk non Islam ataupun ke Kantor Urusan Agama bagi mereka yang melangsungkan perkawinan pemeluk Islam, berakibat tidak ada bukti tertulis atau surat yang menjelaskan telah terjadinya suatu perkawinan dan tidak diakuinya secara sah perkawinan tersebut oleh hukum positif.
Oleh karena itu, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak di daftarkan atau dicatatkan tersebut, menimbulkan akibat hukum bahwa anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Terkait dengan permasalahan yang saudari sampaikan, karena perkawinan kakak saudari yang dilangsungkan tidak didaftarkan atau dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan Kantor Catatan Sipil, dengan demikian orang tua dari anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut hanya mengikuti ibunya (kakak Saudari/W). Sedangkan bapaknya / P tidak dapat diakui sebagai orang tuanya.
Dengan demikian, ibu dari si anak mempunyai hak dan tanggung jawab penuh terhadap anak yang dilahirkannya, baik untuk memelihara maupun membiayainya. Ibu si anak ataupun keluarga ibu si anak berhak meminta si anak dipelihara ibunya, apabila si anak berada dalam pemeliharaan bapaknya atau keluarga bapaknya. Bila permintaan ibu secara baik-baik tidak digubris, maka dapat dimintakan secara paksa dengan alat Negara melalui jalur pengadilan.
Namun sebelum menempuh jalur pengadilan tersebut, sebaiknya perlu dipersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan hubungan hukum si anak dengan ibunya (kakak Saudari/W), seperti keterangan lahir dari bidan atau rumah bersalin atau rumah sakit, jika ada akta kelahirannya lebih bagus (yang tentu saja jika tidak ada perkawinan bearti orang tua si anak yang tercatat adalah hanya ibunya saja) beserta bukti lainnya yang berhubungan.
Walaupun demikian, kami menyarankan kepada saudari dan keluarga sebaiknya mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan dan langkah jalur pengadilan sebaiknya dijadikan langkah terakhir, sebab penyelesaian secara kekeluargaan adalah merupakan jalan penyelesaian yang terbaik.
Demikianlah penjelasan dari kami, terima kasih.

Tidak ada komentar: