Jumat, 28 November 2008

ORMAS DAN KEBEBASAN

Pertanyaan:
Assalamualaikum. Desawa ini banyak bermunculan Ormas-ormas atau kumpulan Ormas yang lahir sebagai reaksi atas isu-isu yang berkembang di masyarakat. Tak jarang, isu-isu itu sendiri dimunculkan oleh tokoh-tokoh Ormas itu sendiri, yang mengherenkan kumpulan Ormas-ormas yang biasanya berbentuk forum-forum itu sering berganti nama sesuai isu yang diusung, tapi anggota/tokohnya itu-itu saja.
Mengingat kehadiran ormas tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan-persolan baru khususnya hukum, hankam dan sos-pol, maka perlu dipertanyakan beberapa hal berikut: 1) apakah setiap kelompok masyarakat diberikan kebebasan oleh undang-undang membentuk Ormas; 2) bagaimana legalitas Ormas-ormas tersebut dalam aktivitasnya yang menyangkut kepentingan dan keamanan masyarakat; 3) apakah setiap ormas harus berbadan hukum; 4) bolehkah suatu ormas (baik yang legal atau tidak) mengatas namakan seluruh masyarakat/etnis/umat tertentu dalam menyuarakan kepentingannya; 5) apakah suatu ormas (apapun legalitasnya) boleh melarang/membubarkan suatu instansi/ormas lainnya yang berbadan hukum; 6) apakah alasan yuridis yang menyebabkan suatu ormas dapat dibuabarkan.
Demikian pertanyaan. Terimakasih (Drs. Hafizur Zainun, Padang)

Jawab
Bapak Hafizur yang kami hormati. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berkumpul. Hak tersebut telah menjadi hak asasi manusia dan dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Namun kebebasan tersebut bukan kebebasan yang semaunya, ada aturan hukum yang membatasi. Hal tersebut dilakukan untuk melindungan hak asasi manusia yang lainnya.
Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) merupakan salah satu bentuk cara berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Defenisi tersebut memberikan pendapat bahwa Ormas dapat saja mengatas namakan suatu masyarakat/etnis/agama tertentu, karena itu merupakan alasan kenapa dia hadir.
Ormas dalam pembentukannya harus di laporkan kepada pemerintah. Pada pendirian Ormas tidak perlu berbentuk badan hukum.
Perlu untuk ditekankan bahwa setiap orang tidak boleh main hakim sendiri (eigen rechten). Karena negara berdasarkan hukum maka hukumlah yang nanti yang memberikan sanksi terhadap pelaku. Termasuk juga Ormas tidak dibenarkan untuk melakukan pembubaran Ormas yang lain dengan cara-cara kekerasan.
Organisasi berbentuk Ormas yang berhak membubarkannya yakni pemerintah. Hal ini dapat kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa “pembekuan dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan”. Ini berarti bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat nasional maka pemerintah pusatlah yang berwenang untuk membekukan dan membubarkan, namun bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat hanya daerah maka kepala daerahlah yang membekukan dan membubarkannya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.”
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 21 November 2008

Kealpaan Menyebabkan Kebakaran

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya mau menanyakan mengenai peristiwa atau masalah yang terjadi pada saudara saya. Baru-baru ini saudara saya mengalami masalah, rumah yang telah dibangun secara bertahap beberapa tahun dengan uang jerih payahnya habis terbakar dalam waktu sekejap. Dari informasi yang diterima oleh saudara saya tersebut diketahui bahwa kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian tetangga tidak mematikan kompornya. Dalam masyarakat ada pandangan bahwa kebakaran merupakan suatu musibah yang tidak dapat diminta pertanggung jawaban karena pelaku sendiri mengalami kerugian pula atas kebakaran tersebut.
Pertanyaan yang mau saya sampaikan adalah apakah tetangga yang lalai mengakibatkan kebakaran rumah saudara saya tersebut dapat dilaporkan ke Polisi dan dihukum. Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.
(Bapak Syafnil di Padang)

Jawaban:
Bapak Safnil yang kami hormati. Terlebih dahulu kami ucapkan terimakasih atas perhatian Bapak dalam rubrik konsultasi hukum ini. Kami turut prihatin terhadap musibah kebakaran yang dialami saudara Bapak.
Kebakaran merupakan suatu musibah. Namun apabila terjadinya kebakaran tersebut karena kelalaian/kesalahan seseorang, musibah tersebut menjadi cerita lain, pelakunya dapat diminta pertanggung jawaban. Dalam masyarakat jarang kita dengar orang yang mengalami kebakaran yang disebabkan kelalaian tetangganya, tetangganya itu di laporkan ke Polisi. Hal ini disebabkan karena kebakaran tersebut juga dialami oleh tetangganya dan tetangganya itu juga mengalami kerugian. Sehingga peristiwa tersebut dianggap sebagai musibah saja. Pandangan tersebut terus berkembang dalam masyarakat.
Padahal bila kita melihat dari kaca mata hukum khususnya hukum pidana, tindakan seseorang yang karena kelalaian/kesalahannya menyebabkan kebakaran bagi orang lain dapat dipidana (dihukum). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 188 KUHP, yang berbunyi ”Barangsiapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati”.
Isi pasal di atas, menggambarkan bahwa perbuatan kebakaran dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa). Oleh karena itu, untuk memahami apa itu kesalahan/culpa tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu.
Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan sebagai ”kurang mengambil tindakan pencegahan” atau ”kurang berhati-hati”. Lainhal pandangan ahli. Unsur kealpaan menurut Vos ada dua macam, yaitu pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya dan pembuat ”kurang hati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab).
Pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya menunjukkan adanya hubungan antara batin pembuat dengan akibat yang timbul karena perbuatannya. Selain daripada adanya hubungan batin ini, tentu saja harus ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan pembuat dengan akibat yang dilarang. Jika hubungan kausal (sebab akibat) tidak ada maka tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan.
Vos mengemukakan, bahwa kurang hati-hati ada dua macam, yaitu: pembuat tidak hati-hati menurut semestinya atau pembuat memang berlaku sangat hati-hati, tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dijalankan.
Tindakan yang terjadi pada uraian yang Bapak utarakan tersebut dapat digolongkan kepada kealpaan tidak disadari (onbewuste schuld), hal tersebut terlihat dari tetangga yang menyebabkan kebakaran tersebut tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat yang menyertai perbuatannya (lupa mematikan kompor), tetapi ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tindakannya (lupa mematikan kompor) tersebut berupa kebakaran rumah yang juga dapat berdampak kebakaran kepada rumah tetangganya.
Atas kebakaran rumah yang saudara Bapak alami itu dapat dilaporkan ke Polisi untuk dipertanggung jawabkan oleh tetangganya yang menyebabkan rumahnya terbakar. Oleh karena itu, tiap orang harus hati-hati dalam bertindak.
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 07 November 2008

Menyuruh Melakukan

Pertanyaan:
Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum, Saya mempunyai kasus, korbannya diculik dari rumah kemudian dikeroyok sampai babak belur. Si pelaku pengeroyokan ternyata diupah oleh seseorang. Yang mau saya tanyakan, apakah seseorang yang memberikan upah tersebut dapat dinyatakan sebagai pengeroyokan dan kalau iya, pasal berapa yang dapat menyerat otak pengeroyokan tersebut?
Demikian pernyataan saya. Terimakasih (Dodo/ Padang)

Jawaban:
Saudara Dodo yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan yang saudara ajukan perlu dijelaskan pengertian antara menyuruh berbuat (doen plegen) dengan membujuk melakukan (uitlokking). Secara yuridis dua kata tersebut memiliki maksud yang berbeda. Dalam hal menyuruh melakukan si pembuat yang materil tidak dipidana. Dimana menyuruh berbuat sebagai suatu penyertaan apabila pembuat yang sesungguhnya tidak dapat dipidana.
Sedangkan pada membujuk melakukan (uitlokking), pembuat yang sesungguhnya dapat dihukum. Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP menjelaskan bentuk daya upaya penganjuran tersebut dengan cara: pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Melihat kronologis kasus saudara kemukakan di atas, maka yang otak pelaku (intelectuele dader) penculikan (Pasal 328 KUHP) dan pengkroyokan (Pasal 358 KUHP) merupakan orang yang membujuk melakukan hal tersebut didasarkan pada pemberian uang. Hal tersebut dapat dikenakan dengan Pasal 55 KUHP.
Dalam Pasal 55 KUHP tersebut juga mengklasifikasikan turut serta melakukan kedalam 4 macam, yaitu:
Pertama: orang yang melakukan (pleger). Orang ini adalah orang yang sendirian telah melakukan perbuatan pidana. Dalam kasus saudara tentunya orang-orang yang melakukan penculikan dan pengeroyokan tersebut.
Kedua: orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Orang menyuruh melakukan merupakan orang yang tidak langsung melakukan perbuatan pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain.
Ketiga: orang yang turut serta melakukan (medepleger). Turut melakukan dalam artian bersama-sama melakukan. Dalam kasus pengeroyokan tersebut dilakukan lebih dari satu orang. Maka orang yang ikut membantu, seperti mengawasi tetapi tidak ikut memukul juga dapat dijerat dengan pasal ini.
Keempat: orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP.
Terhadap perantara (penghubung) antara orang yang membujuk dengan orang yang melakukan tindak pidana dapat juga dikenakan pidana. Hal ini merujuk pada Keputusan Pengadilan Negeri Di Bogor 7 Mei 1983 menentukan, bahwa pembujukan dengan kesanggupan upah uang kepada seorang perantara yang ia sendiri kemudian __ dengan pengetahuannya pembujuk __ telah membujuk kepada orang lain untuk melakukan membunuh seseorang yang tertentu itu dihukum sebagai pembujukan kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 340 KUHP. Menurut hukum tidak menjadi soal, oleh siapakah perbuatan yang telah itu dilakukan, jadi pembujukan pada pembujukan tersebut menurut undang-undang diperkenankan (dapat dipidana).
Pertanggungjawaban orang yang menganjurkan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dianjurkan tidak melampaui apa yang dikehendaki. Pertanggungjawaban meliputi juga akibat-akibat dari perbuatan yang dianjurkan dengan sengaja. Yang dimaksud dengan ini adalah keadaan objektif yang memberatkan. Jadi apabila pengkroyokan yang dilakukan tersebut berakibat meninggal dunia, maka si penganjur bersalah karena menganjurkan pengkroyokan yang berakibat kematian.
Apabila perintah menganjurkan perbuatan tersebut melampaui (excessus mandati), itu tidak dipersalahkan pada orang yang memberi perintah. Pembuat yang sesungguhnya yang harus bertanggung jawab mengenai itu.
Demikianlah uraian jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 24 Oktober 2008

TERTANGKAP BASAH MENCURI

Pertanyaan:
Yang terhormat pengasuh rubrik konsultasi hukum, saya ingin bertanya masalah hukum yang menimpada adik saya. Adik saya sampai sekarang masih menganggur. Sebenarnya tidak mengganggur total, karena dia (sebut saja namanya A) diminta menjual barang orang lain ke pasar.
A berurusan dengan pihak berwajib (polisi), karena dia disangka melakukan pencurian kerbau. Saat itu pukul 04.00 WIB dini hari, A pulang dari rumah temannya lewat di sebuah jalan yang kebetulan salah satu rumah memeliki kerbau. Entah setan apa yang membujuk A untuk mengambil barang yang bukan menjadi haknya tersebut. Setelah pintu kandang dibuka oleh A, ada orang yang melihat dan langsung berteriak maling.
Akhirnya A tertangkap oleh warga dan dibawa ke Polsek setempat. Apakah A nanti akan dikenai pasal pencurian, mengingat belum sampainya membawa kerbau baru membuka kandang. Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.
Zet di Solok

Jawaban
Terimakasih atas partisipasi saudara terhadap rubrik ini. Sebelumnya saya ikut prihatin atas kondisi yang dialami oleh adik Anda tersebut, semoga peristiwa tersebut dapat menjadi hikmah. Mudah-mudahan uraian kami ini dapat memberikan kejelasan terhadap permasalahan keluarga anda.
Perlu untuk diketahui dalam hukum pidana niat atau motivasi adalah sangat urgen (penting) yang nantinya menentukan tentang kesalahan seseorang pelaku perbuatan pidana. Jika sejak awal niat seseorang pelaku memang akan mengambil barang milik orang lain atau mencuri, maka sebagaimana dalam yang Anda tulis, A berhasil membuka pintu kandang, maka bisa saja kerbau tersebut sepenuhnya berada dibawah penguasaan A.
Dalam beberapa putusan pengadilan yang ada, dalam perkara pencurian disebutkan unsur mengambil dalam delik pencurian tidaklah harus dipenuhi adanya perbuatan membawa pergi, tapi telah cukup jika barang yang menjadi objek dari perbuatan pelaku tindak pidana tersebut telah berada di bawah penguasaan sepenuhnya oleh pelaku. Karena sebenarnya dengan telah dibukanya pintu kandang tersebut, maka kerbau tersebut telah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan A. Hanya saja kebetulan karena A kepergok oleh masyarakat, sehingga ia akhirnya tidak berhasil, kalau tidak kepergok, maka kerbau tersebut jelas akan berpindah tempat dan akan dimiliki oleh A tentunya saja secara melawan hukum.
Tindakan yang dilakukan oleh adik Anda sudah tersebut tergolong percobaan (Pasal 53 KUHP). Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud membunuh orang, orang-orangnya tidak mati, hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.
Menurut pasal tersebut, maka supaya percobaan pada kejahatan (pelanggar tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. nilai sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; b. orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan c. perbuatan kejatan itu tidak jadi sampai selesai, karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.
Untuk itu anda coba bertanya kepada A, mengapa ia sampai melakukan perbuatan tercela tersebut. Latar belakang mengapa A mencuri tersebut sangat perlu ditanyakan, karena mungkin nantinya dapat menjadi hal yang dapat meringankan perbuatannya. Karena seorang yang mencuri karena kebiasaan dan memang menjadi kebiasaannya, dengan mencuri karena adanya kondisi tertentu yang terpaksa seseorang harus melakukan pencurian, hukumnya tidak akan sama.
Demikianlah jawaban kami, terimakasih.

Jumat, 17 Oktober 2008

JAMINAN HUTANG

Pertanyaan :
Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum yang saya hormati. Saya seorang karyawan di perusahaan swasta di kota Padang. Saat ini saya mempunyai permasalahan hukum berkaitan utang piutang. Yang mau saya tanyakan adalah apakah barang jaminan berupa sepeda motor seharga pasaran 5 juta rupiah beserta BPKB & STNK sebagai jaminan utang boleh dijual atas hutang orang yang meminjam sebesar 9 juta rupiah. Karena yang punya hutang tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan dan tidak bisa dihubungi lagi. Berutang berjanji dua minggu akan datang menyelesaikan utangnya, tapi setelah dua bulan tidak datang-datang dan tidak bisa dihubungi lagi. Seandainya dijual pun sepeda motor tersebut tidak mencukupi hutangnya malah masih sisa banyak. Apakah bila motor itu dijual kita bisa dituntut pasal penggelapan?
(Pak W di Padang)
Jawaban :
Terimakasih Pak W yang telah berpartisipasi mengirimkan pertanyaannya. Bahwa penyerahan benda jaminan atas perikatan utang piutang yang Bapak lakukan termasuk dalam kategori gadai. Tentang gadai ini diatur dalam Pasal 1150  KUHPerdata. Selanjutnya dalam Pasal 1151 KUHPerdata diatur bahwa persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok.
Secara yuridis, pihak yang berpiutang terutama pada gadai yang tertuju terhadap benda bergerak, memberikan hak preferensi dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya. Artinya Bapak sebagai pemegang gadai mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seperti seolah-olah pemilik sendiri dari benda tersebut.
Amat disayangkan dalam pertanyaan Bapak tidak menyebutkan apakah perjanjian utang piutang dengan jaminan dibuat secara tertulis atau lisan. Jika perjanjian utang-piutang itu dituangkan dalam bentuk tertulis, hal ini akan lebih memudahkan untuk melakukan perbuatan hukum lain semisal ketika hendak mengalihkan atau menjual jaminan kebendaan tersebut.  
Namun demikian, jika perjanjian gadai tersebut hanya dinyatakan secara lisan, hal ini pun tidak menjadi masalah sepanjang ada penegasan dalam kesepakatan lisan itu yang mengandung dua pernyataan debitur. Dua pernyataan itu antara lain pernyataan untuk memberikan jaminan kebendaan atas utangnya itu dan  pernyataan memberi kewenangan serta kuasa jual kepada Bapak apabila timbul kondisi debitur cedera janji. Pasal 1155 KUHPerdata memberikan kewenangan bagi Bapak untuk menjual benda gadai yang dikuasai dalam rangka pelunasan hutang. Tapi khusus jika orang yang berutang memang nyata telah melakukan cidera janji alias tidak memenuhi pelunasan yang telah disepakati.
Merucuk ketentuan KUHPerdata, ada dua cara untuk mengeksekusi benda gadai. Pertama, jika hendak dijual secara tertutup (tidak di muka umum), harus dilakukan melalui perantara pengadilan sesuai diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata. Tapi masih dengan catatan, para pihak memang telah sepakat bahwa kreditur diberikan kewenangan mengeksekusi atas benda jaminan tersebut secara penjualan langsung. Kedua, melalui bantuan kantor lelang negara sebagai bentuk penjualan di muka umum.
Berkaitkan dengan pertanyaan Bapak apakah menjual benda jaminan tersebut dapat dituntut pasal penggelapan, maka untuk menjawab hal tersebut perlu disigi ketentuan penggelapan Pasal 372 KUHPidana menyebutkan, ” Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dan ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan dengan pidana penjara...”
Selama eksekusi barang gadai dilakukan mengikuti prosedur eksekusi seperti kami paparkan di atas, maka pasal penggelapan tidak dapat dikenakan kepada Bapak. Sebab, pengalihan benda gadai itu dilakukan sesuai prosedur semestinya dan sudah menjadi kewenangan Bapak selaku pemberi utang yang dijamin oleh hukum. Kalau Bapak menempuh eksekusi lewat perantaraan hakim (pengadilan), jika permohonan dikabulkan, maka akan ada penetapan dari hakim untuk mengeksekusi benda jaminan secara tertutup (penjualan langsung). Sedangkan jika cara yang Bapak tempuh adalah menjual lewat kantor lelang negara, maka akan keluar risalah lelang sebagai dasar pengalihan.
Sebagai saran untuk Bapak, akan lebih baik bila sebelum menjual benda jaminan, komunikasikan dulu pada si pemilik benda jaminan daripada muncul persoalan di kemudian hari. Mengingat harga jual pasaran dari benda jaminan itu belum dapat menutup utang. Sebaiknya Bapak terlebih dahulu bertemu si berutang untuk membahas mengenai pelunasan sisa utang dan buat lagi kesepakatan baru mengenai hal itu.
Demikianlah jawaban kami, terimakasih. (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 26 September 2008

Tertipu, Mengapa Malah Jadi Tersangka?

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya bekerja sebagai wiraswasta di Kota Padang. Saat ini saya sedang menghadapi kasus pidana. Garis besar jalan ceritanya sebagai berikut: saya diajak kerjasama bisnis oleh orang yang bernama AZ, dalam kerjasama bisnis tersebut saya telah memberikan uang sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sebagai modal bisnis. Berdasarkan kesepakatan diantara kami, saya akan mendapat keuntungan sebesar 10% per bulan. Dalam kerjasama tersebut AZ telah menjaminkan sertifikat hak milik atas nama orang lain, dengan surat kuasa dari pemilik tanah tersebut, yang isinya memberikan hak kepada AZ untuk menggunakan sertifikat tanah tersebut untuk jaminan peminjaman modal.
Dengan bekal surat kuasa tersebut saya mau melakukan kerjasama bisnis dengan AZ. Namun setelah satu bulan berlalu, diketahui bahwa surat kuasa tersebut ternyata palsu, hal tersebut diketahui karena adanya laporan dari pemilik tanah sertifikat terhadap AZ, yang saat ini AZ telah ditahan oleh Kepolisian.
Kepolisian kemudian mendatangi saya untuk meminta sertifikat hak milik yang telah diserahkan kepada saya oleh AZ tersebut. sebenarnya saya keberatan untuk menyerahkan sertifikat hak milik tersebut kepada Polisi, tetapi karena Polisi mengatakan bahwa saya kemungkinan juga tersangka dalam perkara tersebut dan dapat juga ditahan, saya serahkan juga akhirnya sertifikat kepada Polisi, karena saya takut di tahan. Yang saya tanyakan adalah, apakah benar saya juga dapat dijadikan tersangka dalam perkara tersebut dan ditahan?
Demikianlah pertanyaan saya. Terimakasih atas jawaban yang Bapak berikan.
(Mizan/Padang)

Jawab:
Saudara Mizan yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan, perlu Saudara ketahui bahwa ketika melakukan perjanjian, Saudara harus hati-hati dan teliti dalam melihat, membaca dan perlu mempelajari secara lebih saksama isi perjanjian yang ada, terlebih jika dalam sebuah perjanjian tersebut menggunakan jaminan. Sebaiknya jaminan tersebut perlu diteliti lebih lanjut, siapa pemiliknya dan dimana keberadaan barang jaminan tersebut.
Apalagi dalam kasus Saudara tersebut barang yang dijadikan jaminan bukan milik orang yang yang menjaminkan, melainkan menjaminkan melalui surat kuasa dari pemiliknya. Penelitian yang Saudara lakukan, Saudara akan mengetahui tingkat kesulitannya (resikonya) barang jaminan, bila tinggi resiko barang jaminannya sebaiknya Saudara menolak jaminan tersebut dan memohon untuk diganti dengan barang jaminan lainnya yang memang benar-benar dapat dijadikan jaminan (aman dan tidak bermasalah).
Sebaiknya untuk lebih amannya ketika Saudara membuat perjanjian melalui atau dihadapan notaris, karena jika suatu hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat dijadikan bukti yang sifatnya otentik (Pasal 1867 KUHPerdata).
Mengenai pertanyaan Saudara mengenai apakah Saudara dapat dijadikan tersangka dalam kasus tersebut dan dapatkah ditahan, maka perlu untuk diketahui bahwa seseorang disangka atau didakwa telah melakukan tindak pidana tentunya setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Jika Saudara dilibatkan dalam perkara tersebut, maka Saudara tentunya nantinya akan diperiksa hanya sebagai saksi terhadap tindakan yang dilakukan AZ.
Ketika Saudara diperiksa sebagai saksi, Saudara berikanlah keterangan yang sebenarnya bahwa Saudara tidak mengetahui bahwa ternyata surat kuasa tersebut adalah palsu. Jika dalam proses penyidikan ternyata Saudara memang sama sekali tidak melakukan perbuatan pidana dan didukung oleh niat ataupun motivasi yang ada bahwa Saudara jelas-jelas tidak melakukan tindak pidana yang terkait dengan surat kuasa palsu tersebut, maka kedudukan Saudara tentunya tidak akan berubah menjadi tersangka dan Saudara tidak akan ditahan.
Sebagai saran, untuk menunjukan bahwa Saudara mempunyai itikad baik, sebaiknya Saudara juga melaporkan AZ kepada Polisi, karena telah melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP), apalagi jika keuntungan-keuntungan yang seharusnya Saudara dapat dalam perjanjian belum pernah Saudara peroleh.
Demikianlah jawaban dari kami semoga bermanfaat, terimakasih. (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 19 September 2008

HUKUMAN PERCOBAAN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat Fakultas Sastra. Saya ingin mengetahui mengenai masalah hukuman. Cerita singkatnya adalah sebagai berikut: dua bulan yang lalu saya diajak teman untuk melihat persidangan teman yang terlibat perkara narkotika. Setelah mengikuti sidang tersebut saya sempatkan diri untuk melihat salah satu sidang pidana di ruang sidang sebelah yang ternyata hari itu persidangan beragendakan putusan hakim. Bunyi dari putusan hakim tersebut adalah si terdakwa dijatuhi hukuman percobaan atas perbuatannya melakukan tindak pidana penggelapan. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang dimasud dengan hukuman percobaan?
Demikianlah pertanyaan saya atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.
(Aldo/ Padang)

Jawaban:
Terimakasih atas perhatian Saudara terhadap konsultasi hukum ini, walaupun Saudara dari mahasiswa Fakultas Sastra. Berhubungan dengan pertanyaan Saudara mengenai hukuman percobaan akan kami jelaskan sebagai berikut, bahwa sanksi percobaan di Indonesia di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan istilah KUHP, pada Pasal 14a ayat (1) disebutkan “jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamamnya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan di antaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, keculai kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim. Oleh karena terhukum sebelum jatuh tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan sekiranya diadakan dalam perintah itu.
Dengan demikian, dalam Pasal 14a ayat (1) KUHP diatas, pada pokoknya adalah orang (si terdakwa) dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika ternyata bahwa terhukum sebelum habis masa percobaan berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim dengan si terdakwa.
Jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman tersebut tidak dilakukan. Maksud dari penjatuhan hukuman semacam ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terhukuman (terpidana) supaya dalam waktu masa percobaan tersebut memperbaiki diri dengan tidak berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan pengaharapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tersebut tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Hukuman dengan “bersyarat” ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal penjatuhan hukuman penjara tidak lebih dari satu tahun (Keputusan MA No. 52 K/Kr/1970) dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda, jadi hukuman penjara lebih dari satu tahun dan kurungan pengganti denda tidak mungkin dijatuhkan dengan bersyarat semacam ini.
Selanjutnya dalam Pasal 14b ayat (1) KUHP mengatur tentang lamanya waktu untuk masa percobaan yaitu untuk perkara kejahatan dan pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, 504 , 505, 506, dan 536 maka lamanya masa percobaan selama-lamanya tiga tahun, untuk perkara pelanggaran yang lain setinggi-tingginya dua tahun dan untuk syarat atau perjanjian antara hakim dan terdakwa dalam Pasal 14c ayat (3) KUHP tidak boleh membatasi kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik.
Perjanjian-perjanjian atau syarat-syarat yang dapat diberikan itu ada du macam, yaitu syarat umum (tidak boleh berbuat tindak pidana lagi) dan syarat istimewa (apa saja yang mengenai kelakuan dan sepak terjang terhukum asal tidak mengurangi kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik).
Demikianlah penjelasan singkat yang kami sampaikan, terimakasih

Jumat, 12 September 2008

HAK ASUH ANAK HASIL NIKAH TAK TERCATAT

Pertanyaan:
Yang kami hormati Bapak pengasuh konsultasi hukum. Dengan ini saya ingin menanyakan permasalahan kakak saya, dengan uraian sebagai berikut: kakak saya sebut saja namanya W telah menikah dengan seorang laki-laki sebut saja namanya P. Perkawinan mereke berdua sejak semula tidak mendapat restu dari orang tua kami. Orang tua beralasan karena perbedaan keyakinan. P adalah seorang yang belum bekerja (pengangguran), namun W tetap saja nekat untuk menikah dan pindah keyakinan mengikuti keyakinan P. Alhamdulillah saat ini mereka telah dikarunia seorang anak perempuan yang cantik berumur satu tahun.
Perkawinan mereka berdua dilakukan berdasarkan keyakinan P. Selidik punya selidik ternyata perkawinan tersebut tidak didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Perlu untuk diketahui selama dalam perkawinan, W sering mendapat kekerasan dari P maupun dari orang tuanya (mertua W). Melihat kenyataan tersebut, W tidak tahan lagi akhirnya W pergi meninggalkan P dan pulang ke rumah orang tua kami. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah, bahwa anak perempuan hasil perkawinan W dan P semenjak lahir dirawat oleh orang tua P, bahkan W dilarang merawatnya dan saat inipun W justru tidak dibolehkan menemui anaknya.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah secara hukum kakak saya/W bisa mendapatkan dan mengasuh anaknya? Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya. (Rika/Padang)

Jawab
Yang kami hormati saudari Rika. Pertama kami mengucapkan terimakasih atas perhatian saudari Rika pada rubrik konsultasi hukum ini, semoga jawaban yang kami sampaikan dapat membantu saudari dan keluarga menyelesaikan masalah kakak saudari.
Menilik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak didaftarkannya perkawinan ke Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinan bagi pemeluk non Islam ataupun ke Kantor Urusan Agama bagi mereka yang melangsungkan perkawinan pemeluk Islam, berakibat tidak ada bukti tertulis atau surat yang menjelaskan telah terjadinya suatu perkawinan dan tidak diakuinya secara sah perkawinan tersebut oleh hukum positif.
Oleh karena itu, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak di daftarkan atau dicatatkan tersebut, menimbulkan akibat hukum bahwa anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Terkait dengan permasalahan yang saudari sampaikan, karena perkawinan kakak saudari yang dilangsungkan tidak didaftarkan atau dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan Kantor Catatan Sipil, dengan demikian orang tua dari anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut hanya mengikuti ibunya (kakak Saudari/W). Sedangkan bapaknya / P tidak dapat diakui sebagai orang tuanya.
Dengan demikian, ibu dari si anak mempunyai hak dan tanggung jawab penuh terhadap anak yang dilahirkannya, baik untuk memelihara maupun membiayainya. Ibu si anak ataupun keluarga ibu si anak berhak meminta si anak dipelihara ibunya, apabila si anak berada dalam pemeliharaan bapaknya atau keluarga bapaknya. Bila permintaan ibu secara baik-baik tidak digubris, maka dapat dimintakan secara paksa dengan alat Negara melalui jalur pengadilan.
Namun sebelum menempuh jalur pengadilan tersebut, sebaiknya perlu dipersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan hubungan hukum si anak dengan ibunya (kakak Saudari/W), seperti keterangan lahir dari bidan atau rumah bersalin atau rumah sakit, jika ada akta kelahirannya lebih bagus (yang tentu saja jika tidak ada perkawinan bearti orang tua si anak yang tercatat adalah hanya ibunya saja) beserta bukti lainnya yang berhubungan.
Walaupun demikian, kami menyarankan kepada saudari dan keluarga sebaiknya mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan dan langkah jalur pengadilan sebaiknya dijadikan langkah terakhir, sebab penyelesaian secara kekeluargaan adalah merupakan jalan penyelesaian yang terbaik.
Demikianlah penjelasan dari kami, terima kasih.

Jumat, 29 Agustus 2008

MEMPERBANYAK DAN MENGUMUMKAN POTRET

Pertanyaan:
Yang terhormat pengasuh rubrik konsultasi hukum, bersama ini saya Andy, mempunyai hobi dibidang fotografi. Saat ini marak dilakukan pendaftaran ciptaan untuk mendapatkan hak cipta. Mulai dari buku, lagu atau musik, sampai fotografi. Telah banyak kasus yang terjadi karena suatu karya cipta. Saling klaim atas suatu karya cipta begitu yang terjadi.
Berkaitan dengan hobi saya di dunia fotografi tersebut, yang mau saya tanyakan adalah saya berencana akan memperbanyak hasil karya saya atas potret seseorang serta mengumumkannya sebagai karya saya. Untuk itu hal-hal apa sajakah yang harus saya lakukan supaya langkah-langkah yang dilakukan tersebut benar-benar tidak melanggar hukum. Demikianlah pertanyaan yang saya sampaikan, atas perhatian Bapak saya haturkan terimakasih.
(Andy/Padang)

Jawaban:
Yang kami hormati saudara Andy. Masalah hak cipta saat ini memang banyak diperbincangkan bahkan menjadi isu global. Masyarakat Indonesia saat ini mulai menyadari arti penting suatu ciptaan yang telah dihasilkannya. Kesadaran tersebut timbul dipicu salah satunya oleh banyaknya ciptaan Indonesia yang dibajak, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga merugikan pencipta itu sendiri.
Dalam hal pertanyaan Saudara tersebut kita mesti menilik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam undang-undang tersebut mengungkapkan bahwa potret merupakan salah satu bentuk ciptaan yang dilindungi.
Sebelum panjang lebar membahas pertanyaan Saudara, perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian potret menurut Undang-Undang Hak Cipta. Pasal 1 butir 7 Undnag-Undang Hak Cipta menyatakan potret adalah gambar dari wajah orang yang digambar, baik bersama bagian tubuh lainnya ataupun tidak, yang diciptakan dengan cara dan alat apa pun.
Terhadap potret yang dibuat atas pemintaan sendiri dari orang dipotret, atas permintaan yang dilakukan atas nama orang yang dipotret, atau untuk kepentingan orang yang dipotret maka langkah yang harus Saudara tempuh dalam upaya untuk memperbanyak dan mengumumkan ciptaannya, maka pemegang hak cipta atas potret seseorang harus terlebih dahulu mendapat izin dari orang yang dipotret, atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia.
Apabila dalam suatu potret memuat gambar 2 (dua) orang atau lebih, untuk perbanyakan atau pengumuman setiap orang yang dipotret, apabila pengumuman atau perbanyakan itu memuat juga orang lain dalam potret itu, pemegang hak cipta harus terlebih dahulu mendapat izin dari setiap orang dalam potret itu, atau izin ahli waris masing-masing dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah yang dipotret meninggal dunia (Pasal 19 Undang-Undang Hak Cipta).
Dengan demikian pemegang hak cipta atas potret tak boleh mengumumkan potret yang dibuat tanpa persetujuan orang yang dipotret, tanpa persetujuan orang lain atas nama yang dipotret, atau tidak untuk kepentingan yang dipotret, apabila pengumuman itu bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret atau dari salah seorang ahli warisnya apabila orang yang dipotret sudah meninggal (Pasal 20 Undang-Undang Hak Cipta).
Pelanggaran terhadap Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Hak Cipta dikenakan pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) berdasarkan Pasal 72 ayat (5) Undang-Undang Hak Cipta.
Perlu untuk diketahui, bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan atas seorang pelaku atau lebih dalam suatu pertunjukan umum walaupun yang bersifat komersil, kecuali dinyatakan lain oleh orang yang berkepentingan. Untuk kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses peradilan pidana, potret seseorang dalam keadaan bagaimanpun juga dapat diperbanyak dan diumumkan oleh instansi yang berwenang, seperti halnya menyebarkan potret para teroris oleh Kepolisian.
Demikian jawaban yang kami sampaikan. Mudah-mudahan jawaban tersebut dapat memberikan jalan untuk Saudara untuk memperbanyak atau mengumumkan potret seseorang.

Jumat, 01 Agustus 2008

PERKARA PIDANA ATAU PERDATA

Pertanyaan:
Yang kami hormati Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum. Saya bekerja membawa mobil kampas. Adapun pertanyaan yang saya tanyakan, bermula dari cerita sebagai berikut. Dalam memperpanjang STNK kendaraan, saya menggunakan “biro jasa” sebut saja ZX karena saya tidak punya waktu. Suatu ketika, saat perpanjangan STNK, saya tengah berada di luar kota. ZX memberitahu bahwa proses perpanjangan STNK kendaraan saya sudah selesai, namun teman ZX bernama YQ, yang kebetulan saya mengenalnya, bermaksud ingin meminjam BPKB kendaraan saya.
Pembicaraan saat itu terjadi dengan handphone (HP) antara saya dengan YQ yang berisi mengenai YQ butuh uang, dan memohon untuk meminjam BPKB saya guna digadaikan untuk jangka waktu dua bulan saja. Saya tidak keberatan karena waktu untuk menggadaikan BPKB saya tidak terlalu lama. Selanjutnya, setelah jatuh tempo saya menagihnya, namun YQ saat saya menagih pengembalian BPKB tersebut YQ selalu menunda-nunda dan selalu berkelit serta susah ditemukan.
Berjalannya waktu, pada akhirnya dalam waktu yang cukup lama tercapai kesepakatan secara tertulis yang berisikan bahwa YQ akan membeli motor tersebut. Namun sampai saat ini YQ tidak memenuhi apa yang telah disepakati bersama, bahkan tidak pernah konfirmasi lagi.
Yang mau saya tanyakan apakah tindakan YQ termasuk dalam perkara pidana atau perdata? Apabila dalam penyelesaian secara kekeluargaan tidak membawa hasil, maka langkah hukum apa selanjutnya yang sebaiknya saya tempuh? Apakah status ZX yang tadinya sebagai saksi dapat berubah jadi tersangka.
Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya. (Bayu/ Padang).

Jawaban
Saudara Bayu yang kami hormati, terimakasih atas partisipasinya dalam rubrik ini, semoga uraian ini dapat membantu saudara dalam menyelesaikan masalah yang saudara hadapi.
Masalah yang saudara tanyakan kepada kami dengan uraian kasus sebagaimana yang telah saudara sampaikan tersebut, maka dapat kami uraikan jawaban sebagai berikut. Dalam kasus seseorang yang meminjam barang milik orang lain yang kemudian tidak dikembalikan, maka kasus ini merupakan perkara pidana dan dapat dilaporkan ke Kepolisian dalam aduan penggelapan dan atau penipuan (Pasal 372 dan atau Pasal 378 KUHP).
Pasal 372 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memilki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun”.
Pasal 378 KUHP berbunyi “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Alasan dilaporkannya dua tindak pidana tersebut adalah supaya nantinya apa yang disangkakan atau dituduhkan atau didakwakan kepada pelaku (tersangka atau terdakwa) bisa tepat. Hal ini dikarenakan untuk dapat tepatnya tuduhan atau sangkaan tersebut harus melalui proses pemeriksaan, yang mana nantinya saksi-saksi yang ada, pelaku (tersangka atau terdakwa) serta bukti lain akan diperiksa, sehingga tindak pidana apa yang dilakukan benar-benar telah terbukti secara syah dan meyakinkan.
Dalam kasus saudara, meskipun pada akhirnya ada kesepakatan yang dibuat secara tertulis yang telah dilakukan antara saudara dengan YQ, namun kenyataannya YQ sama sekali tidak pernah memenuhi apa yang telah disepakati alias “cuek”.
Sebagai perbandingan saja, jika seorang telah melakukan perjanjian utang piutang dengan orang lain, maka jika pihak yang berhutang sama sekali belum pernah mengangsur hutangnya tersebut sampai jatuh tempo, maka dapat dilaporkan pidananya. Menyikapi kasus saudara tersebut, memang lebih baik diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu, akan tetapi jika YQ ternyata tidak juga mengembalikan BPKB kendaraan saudara, maka saudara perlu melakukan langkah hukum lanjutan, dengan melaporkan tindak pidana YQ ke Kepolisian.
ZX dalam kasus saudara ini sebagai saksi, namun jika nantinya dalam pemeriksaan yang dilakukan Kepolisian ternyata ZX terlibat atau punya andil dalam tindak pidana yang dilakukan YQ, maka status ZX yang tadinya saksi dapat berubah jadi tersangka.
Demikianlah jawaban yang kami berikan, terima kasih. (Doni F. Jambak, S.H., A. Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 18 Juli 2008

BERNIAT BAIK MALAH JADI TERSANGKA

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang terhormat. Saya seorang pedagang di Pasar Raya. Saya memiliki permasalahan dengan mamak, ceritanya berawal dari saya diminta tolong oleh mamak saya sendiri untuk menjual kiosnya yang ada di pasar karena kondisi perekonomian mamak pada saat itu terlilit banyak utang dengan orang (bangkrut) termasuk kepada orang tua saya sebesar Rp. 7 juta dan kebetulan kios mamak tersebut bersebelahan dengan kios milik saya. Sebagai kemenakan yang telah diberi wewenang dan kepercayaan untuk melaksanakan amanat untuk menjual kios tersebut, maka saya melakukan amanat tersebut dengan baik. Saya telah menawarkan kios mamak kepada kenalan-kenalan saya dan telah pula saya iklankan di koran lokal sampai pada akhirnya ada beberapa orang berminat. Akan tetapi, sejumlah peminat merasa kecewa melihat kondisi kios tersebut sangat kotor, tidak terawat dan tidak rapi (sudah tidak ditempati lebih kurang 4 bulan)
Bagaimanapun saya merasa diberi tanggung jawab, saya berinisiatif untuk membersihkan kios tersebut dan membawa pulang sebagian rak dan lemari untuk diperbaiki dengan tujuan saya ganti yang baru agar kios terlihat rapi dan bersih, bila ada calon pembeli mereka tidak kecewa.
Tetapi, saya terkejut, belum sempat saya memperbaiki rak dan lemari tersebut. keesokan harinya sudah dilaporkan ke kepolisani oleh mamak dengan tuduhan mencuri dan perusakan. Sebenarnya masalah ini sudah dimusyawarahkan dengan seluruh keluarga besar kami, namun mamak dengan arogan tetap bersikeras untuk tidak mencabut laporannya. Mamak justru memeras keluarga saya dengan cara mau mencabut laporannya ke kepolisian dengan syarat keluarga saya memberikan ganti rugi kepada mamak sebesar Rp. 10 juta dan hutang mamak kepada orang tua saya sebesar Rp 7 juta dianggap lunas.
Pertanyaan saya, apakah benar saya bisa dijadikan tersangka dalam masalah in? Jika ya bagaimana pembelaan saya di pengadilan nanti serta apakah saya dapat melaporkan tindakan pemerasan yang dilakukan mamak saya?
Terima kasih (Anto/ Padang)

Jawaban:
Saudara Anto yang terhormat, terimakasih atas pertanyaan dan kepercayaan saudara kepada kami. Terhadap kasus yang saudara alami, perlu kami tanyakan kepada saudara, yakni apakah dalam mengurus penjualan kios beserta hal-hal yang terkait dengan jual beli kios mamak tersebut dilakukan secara formil atau tidak, karena bila dalam pengurusan tersebut dilakukan secara formil, yaitu dengan membuat surat kuasa terhadap urusan tersebut, maka langkah-langkah yang saudara lakukan berkaitan dengan pengurusan penjualan kios mamak dapat terlindungi dengan baik dan posisi saudara secara formil lebih kuat.
Artinya, apabila ada calon pembeli yang menanyakan atau menawar kios tersebut, maka mereka juga tidak ragu-ragu terhadap keberadaan saudara sebagai pihak yang memang bertindak untuk dan atas nama mamak, demikian pula terhadap kesepakatan yang telah dilakukan antara pemberi kuasa (mamak) dengan penerima kuasa (saudara), maka dengan adanya surat kuasa tersebut, hal-hal apa yang dikuasakan tersebut dapat dilihat dalam surat kuasa.
Dalam hal tindakan mamak yang melaporkan saudara karena telah melakukan tindakan pencurian dan pengrusakan pada kiosnya kepada pihak kepolisian, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan pemenuhan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana tersebut.
Perlu untuk diketahui bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat (pelaku) adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa perbuatan atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana.
Jika dilihat dan dipahami dari kronologis yang saudara sampaikan, maka sejak awal saudara telah mendapatkan kepercayaan dari mamak untuk menjual belikan kios tersebut. Kemudian tindakan yang saudara lakukan terhadap rak atau lemari yang saudara bawa pulang untuk kemudian saudara perbaiki agar calon pembeli lebih tertarik terhadap kios tersebut, memang dapat menjadi celah bagi saudara untuk dilaporkan ke kepolisian, jika tindakan tersebut tidak saudara beritahu atau tidak disetujui mamak. Terlebih ketika mamak melaporkan tindakan saudara tersebut, ternyata rak atau lemari tersebut berada dirumah saudara (belum berada kembali di kios mamak).
Namun sekali lagi, laporan tersebut harus dibuktikan dengan bukti-bukti, termasuk terkait dengan unsur niat, karena saudara membawa rak atau lemari tersebut tidak untuk saudara miliki, sebagaimana unsur yang ada dalam pasal pencurian Pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”. Dalam hal tersebut unsur niat harus terbukti secara materiil berdasarkan kronologis kejadian yang ada.
Demikian juga terhadap dilaporkannya saudara melakukan perusakan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan“, maka menilik pasal di atas dapat diketahui bahwa unsur tersebut jelas-jelas sangat susah dipenuhi, karena jika saudara bercerita tentang rak atau lemari yang ternyata saudara perbaiki, maka hal tersebut justru bukan merupakan tindakan merusak barang.
Keinginan keluarga saudara untuk melapor balik mamak ke kepolisian atas dugaan tindakan pemerasan, hal ini harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapus piutang, dihukum karena pemerasan dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
Yang harus anda siapkan adalah apakah ada saksi-saksi yang mengetahui tentang adanya tindakan mamak melakukan pemerasan tersebut. Jika saudara berniat melaporkan mamak saudara, terkait dengan hutang mamak sebesar Rp. 7 juta pada orang tua saudara, saudara dapat melaoporkan tindakan mamak tersebut yaitu tindakan penipuan, dengan catatan terhadap hutang tersebut mamak sama sekali belum pernah membayar atau mengangsurnya. Demikianlah jawaban dari kami semoga bermanfaat bagi saudara dan keluarga. Terimakasih

Jumat, 11 Juli 2008

Rugikan Konsumen, PLN Bisa digugat?

Pertanyaan
Yth. Bapak Pengasuh konsultasi hukum. Akhir-akhir ini listrik sering mati siang atau malam. Ini membuat banyak elektronik yang rusak dan kerugian ekonomi lainnya. Sementara kalau pelanggan (konsumen) yang rugikan PLN (misalnya terlambat bayar, rusak barang milik PLN, dll) konsumen akan dikenakan denda atau ganti rugi.
Bagaimana halnya kalau PLN yang rugikan konsumen seperti saat ini. Bisakah konsumen tuntut atau gugat PLN supaya ganti rugi dan apa upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh konsumen. Terimaksaih (Iren, Padang)

Jawab
Saudari Iren yang kami hormati. PLN identik dengan listrik. Listrik identik dengan gelap dan terang. Begitu yang sama-sama kita rasakan dalam belakangan ini. Seringnya mati listrik membuat banyak masyarakat dirugikan mulai dari barang-barang elektronik yang rusak sampai kerugian ekonomi lainnya.
Lalu dapatkah konsumen melakukan upaya untuk meminta ganti rugi. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK, konsumen dapat menuntut ganti rugi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Dalam Pasal 45 ayat (2) menegaskan ”Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.
Bila kita memilih jalur pengadilan maka cara penyelesaian sengketa menggunakan hukum acara perdata. Gugatan dapat diajukan baik sendiri, berkelompok atau melalui lembaga perlindungan konsumen, hal ini di tegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK“ Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang yang dirugikan atau ahli warisnya; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit”.
Dalam penjelasan pasal ayat (1) huruf b, diketahui bahwa undang-undang mengakui gugatan kelompok atau class action. Untuk mengajukan gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum. Class action dalam UUPK merupakan suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk memuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.
Perlu untuk diketahui bahwa jalur untuk meminta ganti rugi tidak hanya melalui jalur pengadilan saja. Konsumen dapat meminta ganti rugi melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi). Sebagaimana dinyatakan Pasal 47 UUPK ”Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan ”bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun undang-undang perlindungan konsumen hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam yaitu: arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang mana bentuk atau cara penyelesaian sengketa dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 52 UUPK). Putusan yang dikeluarkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi.
Lebih disarankan untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi), karena dalam proses sengketa melalui pengadilan membutuhkan waktu penyelesaian yang lambat sehingga biaya yang dikeluarkan sangat mahal. Semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.
Demikian jawaban kami. Terimakasih (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 04 Juli 2008

KORBAN SALAH, SOPIR DIPIDANA

Pertanyaan:
Yang saya hormati Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum. Bersama ini saya ingin menanyakan suatu permasalahan hukum yang terkait kecelakan lalulintas. Suami saya adalah seorang pengemudi atau sopir pada sebuah biro perjalanan, yang suatu ketika saat mengendarai kendaraan dengan membawa penumpang di sebuah jalan raya antar kota, menambrak seorang anak yang sedang mengendari sepeda yang keluar dari jalan kecil di pinggir jalan raya tersebut. Pada waktu kejadian, tutur suami saya ia mengendari kendaraan tidak begitu cepat, kurang lebih hanya 60 km/jam. Kecelakaan tersebut, menyebabkan anak kecil meninggal dunia, dan suami saya dipidana selama satu tahun penjara. Yang jadi pertanyaan saya adalah, mengapa suami saya dapat dihukum padahal kalau dilihat dari kronologis kejadian, termasuk dari semua penumpang mengatakan bahwa si anak kecil tersebutlah yang sebenarnya bersalah?
Terimakasih (Bu Marni/Solok)

Jawaban:

Yang kami hormati Bu Marni, sebelum kami menjawab pertanyaan Ibu perkenankan kami menyampaikan ikut prihatin atas musibah yang dialami suami Ibu, semoga peristiwa tersebut dapat menjadi hikmah bagi suami dan keluarga Ibu semua. Amin.
Dalam kasus kecelakaan di jalan raya sebagaimana yang dialami oleh suami Ibu tersebut, banyak yang menayakan. Perlu untuk diketahui bahwa kecelakaan di jalan raya, merupakan sesuatu hal yang tidak dikendaki, baik oleh pengendara maupun oleh korban itu sendiri, semua adalah merupakan faktor ketidak sengajaan.
Merujuk dari hal tersebut, kita dapat menilik undang-undang yang merumuskan mengenai kecelakaan, Pasal 359 KUHP yang menyebutkan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”, dengan adanya rumusan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa hal tersebut dapat dipakai untuk mengajak para pengendara kendaraan agar selalu dalam mengendari kendaraannya berhati-hati di jalan, baik dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun.
Disamping itu pengendara juga harus dianggap tahu dan dapat memperhitungkan akan adanya segala sesuatu yang mungkin terjadi di jalan jika bertindak tidak hati-hati atau kurang waspada, kaitannya dengan kemungkinan setiap saat dan setiap kondisi dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Bertitik tolak dari pendapat Vos yang menyatakan unsur-unsur kealpaan yaitu: pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya; dan pembuat “kurang hati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab), dengan kata lain, andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang bersangkutan tidak dilakukan.
Tentang kurang berhati-hati, Vos mengemukakan ada dua macam, yaitu: Pembuat tidak berlaku secara berhati-hati menurut mestinya; dan pembuat memang berkelakuan sangat berhati-hati, tetapi perbuatannya pada pokoknya tidak boleh dijalankan.
Bila pandangan tersebut dikaitkan dengan kecelakaan yang dialami oleh suami Ibu, meskipun kecepatan kendaraan suami Ibu hanya 60 km/jam (yang menurut Ibu suatu kecepatan yang tidak terlalu tinggi untuk sebuah kendaan di jalan raya), namun suami Ibu tetap dapat dikatakan kurang hati-hati atau kurang waspada karena ternyata di sepanjang jalan raya tersebut ada jalan kecil atau gang yang tentunya dapat diperkirakan akan ada pejalan kaki atau kendaraan yang keluar masuk dari gang atau jalan kecil tersebut sewaktu-waktu.
Jadi meskipun misalnya kendaraan suami Ibu kecepatannya 40 km/jam tapi si anak tetap tertabrak kendaraan suami Ibu dan meninggal dunia, maka suami Ibu tetap dapat di pidana. Hal ini merupakan kealpaan (culpa) yang disebabkan karena kesalahannya (door zijn sculd). Terlebih apabila waktu kecelakaan saat jalan ramai atau jam sibuk, maka kesalahan suami Ibu semakin besar.
Untuk dipahami, dalam perkara pelanggaran Pasal 359 KUHP tergolong dalam bentuk kealpaan berat (culpa lata). Jika ada kesalahan dari si korban, tetap tidak akan menghapuskan kesalahan suami Ibu. Demikian jawaban yang kami sampaikan. Semoga dengan penjelasan ini dapat semakin menambah kuat hati Ibu, suami dan keluarga dalam menerima cobaan. Amin (Doni F. Jambak, S.H., A. Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 27 Juni 2008

ADVOKAT DAN KLIEN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh rubrik yang terhormat. Saya akan berperkara di pengadilan menyangkut jabatan saya selaku kasubag di sebuah dinas Pemda. Saya tentunya membutuhkan jasa pengacara. Bagaimana sebaiknya langkah yang saya tempuh menyangkut kewajiban dan honor-honor pengacara, saya kuwatir perkara berlarut-larut, sementara uang saya habis. Surat-surat apa yang harus saya buat dengan pengacara saya. Terimakasih
(Samsul/ Padang)

Jawaban:
Bapak Samsul yang kami hormati. Saya perlu medudukkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan advokat (masyarakat lebih mengenal dengan istilah pengacara). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat istilah pengacara, prokol bambu tidak ada lagi. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat adalah: orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Jasa hukum lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultansi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Jasa yang diberikan tersebut tentunya mempunyai bayaran. Bayaran tersebut disebut dengan honorarium atau fee. Besar atau kecil atau malah tidak ada honorarium ditentukan dari kesepakatan antara Advokat dengan kliennya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 “besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”.
Setelah memahami hal tersebut, jika Bapak memutuskan untuk menggunakan jasa seorang advokat dalam menyelesaikan suatu perkara, ada hal penting yang harus dilakukan yakni melakukan konsultasi pertama. Namun sebelum janji konsultasi pertama itu dibuat harus Bapak tanyakan, apakah konsultasi pertama tersebut dipungut biaya atau tidak. Umumnya untuk konsultasi pertama calon klien, advokat tidak memungut biaya tapi memberikannya secara cuma-cuma.
Agar Bapak tidak merasa kuwatir, bilamana perkara berlarut-larut sementara uang Bapak sudah habis. Maka untuk itu pada konsultasi pertama ada beberapa hal yang Bapak perlu tanyakan, diantaranya: 1.apakah pilihan untuk menyelesaikan suatu perkara yang Bapak alami melalui jalan pengadilan (litigasi) atau diluar pengadilan (non litigasi); 2.tanyakan kemungkinan untuk memenangkan perkara dan diskusikan cara sukses untuk menang; 3.tanyakan apakah ia (Advokat) benar-benar paham dan mengerti apa target yang Bapak harapkan untuk dicapai; 4.tanyakan pula bagaimana cara Bapak untuk dapat informasi mengenai kemajuan perkara secara berkala dan berapa sering harus dilakukan; 5.berapa lama dibutuhkan waktu untuk menyelesaikan perkara, kapan perlu ditanyakan apakah tidak dapat dipercepat; 6.berapa biaya yang perlu dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara; 7.kapan pembayaran akan dilakukan.
Perlu ditekankan biaya bukanlah faktor utama dalam memilih advokat. Yang terpenting dalam pemilihan advokat adalah kemampuan Advokat memberikan jasa hukum dalam menyelasaikan perkara.
Perlu diperhatikan bahwa tagihan untuk honorarium atau fee yang ditetapkan oleh advokat merupakan penilaian atas tingkat keahlian yang dipergunakan dalam menangani perkara (professional fee) (sulit, sedang atau mudah perkara), termasuk party-party cost, yaitu fee yang berkaitan langsung dalam proses beracara di pengadilan (seperti operasional fee) dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara. Masing-masing advokat mempunyai perbedaan tarif dalam menetapkan professional fee. Namun perlu ditekankan lagi besarnya fee atau honorarium seorang Advokat tergantung dari kesepakan antara klien dangan advokat itu sendiri.
Untuk meminta bantuan hukum atau meminta jasa hukum pada tahap awal. Seorang klien membuat beberapa surat diantara surat kuasa dan kontrak advokasi (pidana, perdata atau tata usaha negara tergantung perkaranya). Surat kuasa merupakan suatu surat yang memberikan beberapa kuasa kepada advokat untuk mewakili kliennya guna menyelesaikan perkara.
Sedangkan kontrak advokasi memuat mengenai besarnya honorarium yang diterima advokat. Kontrak advokasi ditentukan menurut kesepakatan bersama berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak.
Untuk menunjang pelaksanaan bantuan hukum dan memberikan jasa hukum dengan baik advokat memerlukan keterangan yang integral mengenai permasalahan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara. Demikianlah jawaban yang kami berikan. Terimakasih.

Rabu, 25 Juni 2008

SUAP DAN KEPERCAYAAN

Pertanyaan:
Bagaimana pandangan Bapak terhadap kasus suap Kejaksaan dengan Artalita Suryani?
Apakah hukum yang terberat bila terbukti jaksa suap?
Apakah masyarakat bias percaya dengan aparat pemerintahan?
(Iin, mahasiswa Mipa UNAND)

Jawaban:
Suap-menyuap merupakan sebagian bentuk dari tindak pidana korupsi. Bila ditilik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah “suap” dikenal dengan gratifikasi. Suap (gratifikasi) merupakan bentuk delik yang tidak baru dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan KUHP yang dulu bernama (Wet book van Strafrecht/ WvS).
Adapun pasal-pasal yang mengenai suap, diantaranya:

Pasal 419 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
l. Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. Yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 420 ayat (1) angka 1 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;
2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.
(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 423 KUHP
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 425 KUHP
Diancam karena melakukan pemerasan dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian adanya;
2. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian halnya;
3. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, seolaholah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan telah menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai Indonesia dengan merugikan yang berhak padahal diketahui nya bahwa itu bertentangan dengan peraturan tersebut.
Maka terhadap kasus pejabat ataupun penegak hukum yang melakukan atau menerima suap merupakan hal yang sudah biasa dalam penegakan hukum. Karena tidak semua penegak hukum itu bersih. Menjadi sorotan publik jika kasus suap ini dilakukan oleh pejabat penegak hukum (Jaksa Agung) yang nota benen dapat dikatakan cukup kualifait dikatakan “manusia setengah dewa”. Apalagi kasus korupsi memiliki daya “magis” bagi masyarakat Indonesia ketimbangan dengan isu lain seperti kemajuan ekonomi, tingkat inflasi semakin tinggi dan lain sebagainya.

Maka terhadap kasus yang dialami oleh Jaksa Urip, penulis memandangnya merupakan suatu kebobrokan dari institusi kejaksaan __ seperti gunung es __ yang terlihat hanya sedikit namun jauh dibawahnya praktek “dagang kasus” jumlahnya banyak sekali. Boleh percaya ataupun tidak, ini merupakan pengalaman pribadi saat magang di Kejaksaan Negeri Medan. Salah seorang jaksa, berucap “kalau mau dapat duit kita perlu jemput bola ke Kepolisian untuk mendapatkan kasus yang “basah”.

Mulai dari pegawai jaksa sampai ke pada jaksa sendiri suap meyuap merupakan sesuatu yang menjadi rahasia umum di kejaksaan. Makanya atas apa yang terjadi di Kejaksaan Agung merupakan “bom waktu’ yang sudah dapat diketahui dan diprediksi akam meledak. Atas dasar itu penulis tidak terkejut dilema yang diterjadi di gedung bundar.

Bagi jaksa yang terlibat tindak pidana korupsi tentunya akan diberikan sanksi kepadanya. Namun untuk menentukan “kadar” berat dan ringanya suatu pidana berada ditangan hakim. Namun bila kita tilik dari segi yuridis bagi jaksa yang melakukan tindak pidana dapat di berikan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomr 31 Tahun 1999 jo perubahannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sanksi yang dapat diberikan dapat berupa:
Diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatanya (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004)
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000. 000.000,- (satu miliar) (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Seandainya bila dapat memilih kita akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum juga seperti malaikat. Jika pihan tersebut tidak ada yang tersisa hanya dua pilihan “penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum seperti setan atau penegak hukum seperti setan dan peraturan hukum seperti malaikat”. Maka penulis akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan seperti setan. Hal ini dilator belakangi bahwa peraturan bukanlah “nada-nada mati” namun murapakan sesuatu yang hidup makanya untuk menggerakan yang hidup tersebut perlu orang-orang yang memiliki jiwa atau hati nurani yang baik.

Masyarakat harus menyadari bahwa tidak semua penegak hukum yang melakukan hal yang serupa (tindak pidana korupsi). Masih ada orang-orang yang idialis walaupun “belum punah” dapat dihitung dengan tangan. Oleh sebab itu kita harus tetap percaya pada penegak hukum kita, namun percaya saja tidak cukup kita perlu kritisi semua kebijakan yang diambil oleh penegak hukum dan mengawasi penegakan hukum itu sendiri.

Jumat, 06 Juni 2008

PEMBUBARAN ORMAS DAN EIGEN RECHTEN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya bertanya berkaitan dengan kekerasan yang di lakukan Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) FPI (Front Pembela Islam) terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) tanggal 1 Juni 2008 di Monas. Yang mau saya tanyakan adalah apakah ormas FPI dapat di bubarkan dan bagaimana prosedurnya. Bagaimana dengan anggota yang telah melakukan tindakan kekerasan apakah dapat dipidana.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Abdulla (Padang)

Jawaban:
Bapak Abdullah yang kami hormati. Setiap organisasi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dibubarkan atau dibekukan. Namun untuk melakukan hal tersebut tidak begitu saja ada aturan “main” yang menentukan hal tersebut.
Organisasi berbentuk Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang berhak membubarkannya yakni pemerintah. Hal ini dapat kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa “pembekuan dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan”. Ini berarti bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat nasional maka pemerintah pusatlah yang berwenang untuk membekukan dan membubarkan, namun bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat hanya daerah maka kepala daerahlah yang membekukan dan membubarkannya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.” Lebih lanjut Pasal 14 menjabarkan “Apabila organisasi kemasyarakatan yang pengurusnya masih tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan.” Ini berarti pemerintah tidak langsung melakukan pembubaran terhadap suatu Ormas melainkan harus melakukan prosedur pembekuan terlebih dahulu. Namun bila Ormas tersebut masih tetap melanggar peraturan perundang-undangan maka baru dibubarkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 Pasal 19 menjelaskan bahwa yang dimaksud “kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi: a. menyebar luaskan permusuhan antara suku, agama, ras dan antar golongan; b. memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; c. merongrong kewibawaan dan/atau mendiskreditkan pemerintah; d. menghambat pelaksanaan program pembangunan; e. kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Apabila telah memenuhi syarat ketentuan di atas, Ormas yang bersangkutan dapat dibekukan. Sedangkan terhadap anggota yang telah melakukan kekerasan atau main hakim sendiri (eigen rechten) dapat di kenakan pidana terhadapnya. Adapun pasal yang dapat digunakan diantaranya Pasal 160 KUHP tentang tindak pidana penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana pengkroyokan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Sebagai pencerahan, Indonesia adalah Negara hukum (recht staat) yang demokrasi pancasila. Demokrasi berarti menghargai perbedaan. Bila terjadi perselisihan maka akan dilakukan musyawarah mufakat namun bila tidak ditemukan jalan keluarnya dapat menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya.
Konsekuensi dari makna prinsip Negara hukum tersebut, dapat diketahui bahwa setiap subjek hukum (baik naturlijk person (perorangan) dan recht person atau badan hukum), dalam bertindak harus berdasarkan hukum. Dengan demikian hukum merupakan “kompas” dalam melakukan segala aktivitas kehidupan yang perlu untuk diperhatikan dan dipatuhi keberadaannya oleh semua elemen bangsa (baik penegak hukum sendiri maupun masyarakat).
Demikian jawaban yang kami berikan.

Jumat, 30 Mei 2008

LEGALITAS SKB

Pertanyaan:
Salah satu istilah hukum yang populer sekarang ini ialah SKB (Surat Keputusan Bersama). Hal ini terkait dengan kontroversi SKB Ahmadiyah yang telah menjadi isu nasional maupun internasional. Yang ingin saya tanyakan seputar istilah ini adalah:1)Bagaimana sebenarnya kedudukan SKB dalam sistem peraturan perundang-undangan kita?; 2) Apakah SKB dapat menjadi sumber hukum dalam sistem hukum kita?; 3) Siapakah yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk membuat suatu SKB?; 4) Apakah SKB tersebut mutlak harus diatur dan termasuk sanksi-sanksinya?; 5) Siapakah yang berwenang mengeksekusi dan mengawasi pelaksanaan SKB tersebut?; 6) Bagaimana jika suatu SKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apakah harus dibatalkan dan siapa yang berhak membatalkannya?; 7) Hal-hal atau materi apa saja yang boleh diatur dalam SKB, apakah termasuk di dalamnya masalah keyakinanan keagamaan dan pemikiran atau ideologi seseorang atau sekelompok warga Negara?
Atas perhatian dan jawaban Bapak saya ucapkan terima kasih.
Wassalam Wr.Wb (Drs. Hafizur Zainun/ Padang)

Jawaban
Bapak Hafizur yang kami hormati. Pertanyaan yang Bapak utarakan sangat menarik untuk dibahas. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, Bab XII Ketentuan Penutup Pasal 56 menyebutkan “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Dengan asas undang-undang “Lex Posterior Derogat Legi Anterior”, maksudnya undang-undang yang berlaku kemudian mengenyampingkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu. Konsekuensinya istilah SKB (Surat Keputusan Bersama) tidak tepat digunakan lagi, namun istilah yang tepat ialah Peraturan Menteri. Terlepas dari apakah peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.
Menurut Algra, sumber hukum dibagi atas sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum dalam arti materiil ialah kesadaran hukum masyarakat, kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang dianggap seharusnya. Sedangkan sumber hukum formil menurut Utrecht, merupakan yang menjadi determinan formil membentuk hukum (formele determinante van de rechts vorming), menentukan berlakunya dari hukum. Dengan kata lain “sumber hukum dalam arti formil” itu bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara pembentukan dari undang-undang. SKB (Surat Keputusan Bersama) termasuk dalam sumber hukum fomil karena pembentukannya di sebutkan oleh Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Untuk memberitahukan semua, bahwa kita mesti dan harus memperhatikan bahwa segala sumber hukum Negara adalah Pancasila (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Singkat kata Pancasila merupakan norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm).
Khusus mengenai SKB Penodaan Agama, yang dapat mengeluarkannya yakni: Menteri Agama bersama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalah Gunaan dan/atau Penodaan Agama Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian SKB “lahir” dari koordinasi tiga instansi tersebut.
Merujuk Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, bila terjadi penodaan agama dapat dikeluarkan SKB, namun SKB yang diterbitkan hanya memuat perintah atau peringatan keras untuk menghentikan perbuatan penodaan agama dan tidak ada memuat mengenai pembubaran suatu organisasi karena yang berhak membubarkan organisasi adalah Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”. Ini berarti SKB yang dikeluarkan oleh koordinasi tiga menteri tersebut tidak ada memuat materi mengenai sanksi pidana.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan SKB tersebut kepada Menteri Agama bersama-sama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bila pelaksanaan SKB menimbulkan gejolak dalam masyarakat, disinilah yang berperan Kepolisian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 5 ayat (1) “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
SKB merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bila SKB yang dikeluarkan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka dapat diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undang dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Menilik Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 terlihat bahwa yang dilarang tersebut perbuatan dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Hal ini berarti tidak ada larangan untuk kita membuat keyakinan atau berideologi baru asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketertiban umum.
Sejalan hal tersebut, dengan Pasal 28E Undang-Undang Dasar R.I Tahun 1945 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan hak kepada setiap orang untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Hal ini untuk mempertegas, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan berkeyakinan. Namun yang dilarang adalah tindakan nyata (action) dari pemikiran (ideologi) dan keyakinan yang dengan sengaja di depan umum melakukan penodaan terhadap agama lain (seperti menghina), atau karena keyakinan tersebut menjadi dasar untuk berbuat anarkis (seperti pembunuhan, pembakaran, dan lain sebagainya). Perbuatan tersebutlah yang dapat di hukum dengan “hukum positif”. Karena hukum positif tidak dapat menjangkau hal-hal yang berbentuk dan bersifat abstrak. Keyakinan seperti contohnya tidak dapat dijangkau oleh hukum karena hal tersebut bersifat abstrak.
Demikianlah jawaban yang kita berikan berdasarkan pandangan yuridis. Mudah-mudahan jawaban tersebut dapat mencerahkan kita secara hukum

Minggu, 25 Mei 2008

Konsultasi Hukum

Pusing Kemana Harus Mengurus


Pertanyaan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati.

Saya adalah seorang ibu rumah tangga (yang bernama Ny. Rismarni) yang tidak mengerti sama sekali tentang hukum, begitu juga dengan suami. Kami dari tahun 1982 mengambil kredit di salah satu bank swasta (Bank Nasional) untuk yang ketiga kalinya kami mengambil kredit terjadilah kredit macet di tahun 1997, ini disebabkan karena krisis moneter sehingga usaha kami mengalami kebangkrutan, sehingga untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja susah. Pada tahun 1998 Bank itu (Bank Nasional) dilikuidasi, dan tahun 1997 pihak Bank menelpon kami untuk melunasi kredit kami dengan memberikan potongan (corting) dari Rp. 18.000.000,- menjadi Rp. 15.000.000,- dengan catatan harus dilunasi pada saat itu.

Di tahun 2001, pihak Bank berkirim surat bahwa Bank Nasional diambil alih oleh Bank Nusa Nasional dan Bank ini juga dilikuidasi pada tahun 2002.

Yang ingin saya tanyakan adalah kemana kami harus mengurus untuk mendapatkan sertifikat yang diagunkan tersebut, mengingat kami sudah sampai mencari informasi tentang keberadaan sertifikat tersebut sampai ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan juga ke Bank Indonesia serta ke Departemen Keuangan di Jakarta. Karena data-data kredit kami dan sertifikat yang diagunkan tidak ada di sana, maka orang-orang di Departemen Keuangan menyarankan untuk membuat sertifikat baru dengan catatan dilaporkan bahwa sertifikat yang lama dinyatakan hilang. Apabila hal tersebut saya lakukan, apakah tindakan saya ini bertentangan dengan hukum atau tidak.

Hanya sekian yang saya sampaikan, besar harapan saya semoga mendapatkan tanggapan yang bermanfaat bagi saya, sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban

Ny. Rismarni yang kami hormati. Pertanyaan yang Nyonya sampaikan menarik sekali diperbincangkan. Namun sebelum kita memaparkan jawaban atas pertanyaan tersebut, rasanya perlu kami dudukkan permasalahan mengenai kontrak. Dalam hukum kontrak (kredit) mengenal ada asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda) artinya setiap yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dengan demikian kotrak kredit yang sudah dibuat harus dilaksanakan (adanya Prestasi) oleh para pihak. Maka apabila salah satu pihak menuntut prestasi maka pihak lain berkewajiban untuk memberikan prestasi. Pemahaman dasar ini perlu dipahami untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.

Sekarang timbul pertanyaan, bank yang melakukan kontrak (kredit) telah dilikuidasi maka kepada siapa prestasi dilakukan. Untuk menjawab hal tersebut, perlu kita mensigi dalam peraturan perundang-undangan khususnya peraturan mengenai perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada Pasal 37 A ayat (1) memberikan kemungkinan untuk membentuk suatu badan khusus bila terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, badan yang dibentuk yakni Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 37 A ayat (3) memberikan beberapa kewenangan kepada BPPN, salah satunya menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak mana pun, baik di dalam maupun di luar negeri; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan/atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur. Pengertian nasabah debitur sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 “Nasabah debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.

Lebih lanjut tugas BPPN ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, “Dalam melakukan program penyehatan BPPN mempunyai tugas: a. Penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia; b. Penyelesaian aset bank aset fisik maupun kewajiban Debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Aseef Management Unit); dan c. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi. Berlandaskan pada ketentuan tersebut pengelolaan asset bank pailit dan likuidasi menjadi tugas BPPN.

Pada 27 Februari 2004, sehubungan dengan telah terselesaikannya sebagian besar secara pokok tugas-tugas penyelesaian penyehatan perbankan nasional, dan telah mulai membaiknya kondisi makro perekonomian Indonesia, BPPN dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran. Berakhirnya tugas BPPN tersebut, segala tugasnya yang lalu diserahkan kepada Menteri Keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004, menegaskan “dengan berakhirnya tugas BPPN menyatakan seluruh data, informasi dan kearsipan yang dikelola oleh BPPN dalam rangka pelaksanaan tugasnya pada dasarnya diserahkan kepada Menteri Keuangan”.

Dengan demikian, tindakan Nyonya untuk menanyakan kepada pihak Departemen Keuangan sudah tepat. Namun bila data-data Nyonya tersebut tidak diketahui atau tidak diketemukan di Departemen Keuangan, lebih tepatnya menanyakan kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, PUPN dibentuk untuk mengurus piutang Negara yang oleh pemerintah atau badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab lainnya telah diserahkan pengurusan kepadanya. Karena piutang yang terjadi antara bank nasional dengan Nyonya telah diambil oleh BPPN (dalam hal ini Pemerintah) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Singkatnya, piutang tersebut telah menjadi piutang Negara.

Untuk memperoleh kepastian besarnya piutang yang wajib diselesaikan oleh Nyonya (penanggung utang) serta syarat-syarat penyelesaian, PUPN melakukan perundingan dengan Nyonya (penanggung utang); yang hasilnya dituangkan dalam Pernyataan Bersama antara PUPN dan Nyonya (penanggung utang). Isinya berupa kata sepakat antara PUPN dan Nyonya (penanggung utang) tentang jumlah utang yang masih harus dibayar, termasuk bunga, denda yang tidak bersifat pidana serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang tersebut dan memuat pula kewajiban penanggung piutang untuk melunasi utangnya. Pelunasan utang yang dilakukan kepada PUPN dengan sendirinya Nyonya nanti akan memperoleh sertifikatnya.

Dalam hal tidak ada pula data-data Nyonya di PUPN nantinya, maka tindakan Nyonya selanjutnya adalah meminta surat keterangan bahwa sertifikat yang diagunkan (kepada bank nasional yang diambil alih oleh Bank Nusa Nasional kemudian diambil alih oleh BPPN yang kemudian diambil alih lagi oleh Menteri keuangan) tersebut hilang kepada Menteri Keuangan.

Dalam hal saran orang-orang di Departemen keuangan untuk membuat sertifikat baru (pengganti) boleh saja tapi dengan surat keterangan bahwa sertifikat Nyonya hilang dari Menteri Keuangan, tanpa adanya surat tersebut nyonya tidak dapat mengurus sertifikat pengganti (sebagaimana diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hal ini dilatarbelakangi bahwa sebelumnya Nyonya telah melakukan perjanjian kredit dengan bank nasional tersebut. Saran untuk membuat sertifikat baru (penganti) dengan jalan melaporkan bahwa sertifikat yang lama hilang kepada pihak Kepolisian merupakan langkah yang kurang tepat, hal ini disebabkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, Pasal 3 huruf j menegaskan bahwa “dalam melaksanakan tugasnya mempunyai fungsi pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah”, dengan kata lain setiap transaksi yang berkaitan dengan tanah (menggadaikan, jual beli, atau menggunakan sebagai kredit kepada pihak perbankan) telah terdapat catatannya di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Jadi, bila “kekeh” dilakukan juga tindakan pendaftaran tanah dengan dalih sertifikat hilang kepada Kepolisian, nantinya akan menimbulkan akibat hukum yang merugikan bagi nyonya sendiri, karena BPN tidak begitu saja mengeluarkan sertifikat pengganti dan pihak pemerintah tidak begitu saja mengabaikan piutangnya.