Jumat, 18 Juli 2008

BERNIAT BAIK MALAH JADI TERSANGKA

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang terhormat. Saya seorang pedagang di Pasar Raya. Saya memiliki permasalahan dengan mamak, ceritanya berawal dari saya diminta tolong oleh mamak saya sendiri untuk menjual kiosnya yang ada di pasar karena kondisi perekonomian mamak pada saat itu terlilit banyak utang dengan orang (bangkrut) termasuk kepada orang tua saya sebesar Rp. 7 juta dan kebetulan kios mamak tersebut bersebelahan dengan kios milik saya. Sebagai kemenakan yang telah diberi wewenang dan kepercayaan untuk melaksanakan amanat untuk menjual kios tersebut, maka saya melakukan amanat tersebut dengan baik. Saya telah menawarkan kios mamak kepada kenalan-kenalan saya dan telah pula saya iklankan di koran lokal sampai pada akhirnya ada beberapa orang berminat. Akan tetapi, sejumlah peminat merasa kecewa melihat kondisi kios tersebut sangat kotor, tidak terawat dan tidak rapi (sudah tidak ditempati lebih kurang 4 bulan)
Bagaimanapun saya merasa diberi tanggung jawab, saya berinisiatif untuk membersihkan kios tersebut dan membawa pulang sebagian rak dan lemari untuk diperbaiki dengan tujuan saya ganti yang baru agar kios terlihat rapi dan bersih, bila ada calon pembeli mereka tidak kecewa.
Tetapi, saya terkejut, belum sempat saya memperbaiki rak dan lemari tersebut. keesokan harinya sudah dilaporkan ke kepolisani oleh mamak dengan tuduhan mencuri dan perusakan. Sebenarnya masalah ini sudah dimusyawarahkan dengan seluruh keluarga besar kami, namun mamak dengan arogan tetap bersikeras untuk tidak mencabut laporannya. Mamak justru memeras keluarga saya dengan cara mau mencabut laporannya ke kepolisian dengan syarat keluarga saya memberikan ganti rugi kepada mamak sebesar Rp. 10 juta dan hutang mamak kepada orang tua saya sebesar Rp 7 juta dianggap lunas.
Pertanyaan saya, apakah benar saya bisa dijadikan tersangka dalam masalah in? Jika ya bagaimana pembelaan saya di pengadilan nanti serta apakah saya dapat melaporkan tindakan pemerasan yang dilakukan mamak saya?
Terima kasih (Anto/ Padang)

Jawaban:
Saudara Anto yang terhormat, terimakasih atas pertanyaan dan kepercayaan saudara kepada kami. Terhadap kasus yang saudara alami, perlu kami tanyakan kepada saudara, yakni apakah dalam mengurus penjualan kios beserta hal-hal yang terkait dengan jual beli kios mamak tersebut dilakukan secara formil atau tidak, karena bila dalam pengurusan tersebut dilakukan secara formil, yaitu dengan membuat surat kuasa terhadap urusan tersebut, maka langkah-langkah yang saudara lakukan berkaitan dengan pengurusan penjualan kios mamak dapat terlindungi dengan baik dan posisi saudara secara formil lebih kuat.
Artinya, apabila ada calon pembeli yang menanyakan atau menawar kios tersebut, maka mereka juga tidak ragu-ragu terhadap keberadaan saudara sebagai pihak yang memang bertindak untuk dan atas nama mamak, demikian pula terhadap kesepakatan yang telah dilakukan antara pemberi kuasa (mamak) dengan penerima kuasa (saudara), maka dengan adanya surat kuasa tersebut, hal-hal apa yang dikuasakan tersebut dapat dilihat dalam surat kuasa.
Dalam hal tindakan mamak yang melaporkan saudara karena telah melakukan tindakan pencurian dan pengrusakan pada kiosnya kepada pihak kepolisian, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dengan pemenuhan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana tersebut.
Perlu untuk diketahui bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat (pelaku) adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa perbuatan atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana.
Jika dilihat dan dipahami dari kronologis yang saudara sampaikan, maka sejak awal saudara telah mendapatkan kepercayaan dari mamak untuk menjual belikan kios tersebut. Kemudian tindakan yang saudara lakukan terhadap rak atau lemari yang saudara bawa pulang untuk kemudian saudara perbaiki agar calon pembeli lebih tertarik terhadap kios tersebut, memang dapat menjadi celah bagi saudara untuk dilaporkan ke kepolisian, jika tindakan tersebut tidak saudara beritahu atau tidak disetujui mamak. Terlebih ketika mamak melaporkan tindakan saudara tersebut, ternyata rak atau lemari tersebut berada dirumah saudara (belum berada kembali di kios mamak).
Namun sekali lagi, laporan tersebut harus dibuktikan dengan bukti-bukti, termasuk terkait dengan unsur niat, karena saudara membawa rak atau lemari tersebut tidak untuk saudara miliki, sebagaimana unsur yang ada dalam pasal pencurian Pasal 362 KUHP “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”. Dalam hal tersebut unsur niat harus terbukti secara materiil berdasarkan kronologis kejadian yang ada.
Demikian juga terhadap dilaporkannya saudara melakukan perusakan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan“, maka menilik pasal di atas dapat diketahui bahwa unsur tersebut jelas-jelas sangat susah dipenuhi, karena jika saudara bercerita tentang rak atau lemari yang ternyata saudara perbaiki, maka hal tersebut justru bukan merupakan tindakan merusak barang.
Keinginan keluarga saudara untuk melapor balik mamak ke kepolisian atas dugaan tindakan pemerasan, hal ini harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri, kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat hutang atau menghapus piutang, dihukum karena pemerasan dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
Yang harus anda siapkan adalah apakah ada saksi-saksi yang mengetahui tentang adanya tindakan mamak melakukan pemerasan tersebut. Jika saudara berniat melaporkan mamak saudara, terkait dengan hutang mamak sebesar Rp. 7 juta pada orang tua saudara, saudara dapat melaoporkan tindakan mamak tersebut yaitu tindakan penipuan, dengan catatan terhadap hutang tersebut mamak sama sekali belum pernah membayar atau mengangsurnya. Demikianlah jawaban dari kami semoga bermanfaat bagi saudara dan keluarga. Terimakasih

Jumat, 11 Juli 2008

Rugikan Konsumen, PLN Bisa digugat?

Pertanyaan
Yth. Bapak Pengasuh konsultasi hukum. Akhir-akhir ini listrik sering mati siang atau malam. Ini membuat banyak elektronik yang rusak dan kerugian ekonomi lainnya. Sementara kalau pelanggan (konsumen) yang rugikan PLN (misalnya terlambat bayar, rusak barang milik PLN, dll) konsumen akan dikenakan denda atau ganti rugi.
Bagaimana halnya kalau PLN yang rugikan konsumen seperti saat ini. Bisakah konsumen tuntut atau gugat PLN supaya ganti rugi dan apa upaya hukum lainnya yang bisa ditempuh konsumen. Terimaksaih (Iren, Padang)

Jawab
Saudari Iren yang kami hormati. PLN identik dengan listrik. Listrik identik dengan gelap dan terang. Begitu yang sama-sama kita rasakan dalam belakangan ini. Seringnya mati listrik membuat banyak masyarakat dirugikan mulai dari barang-barang elektronik yang rusak sampai kerugian ekonomi lainnya.
Lalu dapatkah konsumen melakukan upaya untuk meminta ganti rugi. Menilik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut UUPK, konsumen dapat menuntut ganti rugi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) UUPK “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Dalam Pasal 45 ayat (2) menegaskan ”Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.
Bila kita memilih jalur pengadilan maka cara penyelesaian sengketa menggunakan hukum acara perdata. Gugatan dapat diajukan baik sendiri, berkelompok atau melalui lembaga perlindungan konsumen, hal ini di tegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK“ Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang yang dirugikan atau ahli warisnya; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit”.
Dalam penjelasan pasal ayat (1) huruf b, diketahui bahwa undang-undang mengakui gugatan kelompok atau class action. Untuk mengajukan gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum. Class action dalam UUPK merupakan suatu prosedur hukum yang memungkinkan banyak orang bergabung untuk memuntut ganti kerugian atau kompensasi lainnya di dalam suatu gugatan.
Perlu untuk diketahui bahwa jalur untuk meminta ganti rugi tidak hanya melalui jalur pengadilan saja. Konsumen dapat meminta ganti rugi melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi). Sebagaimana dinyatakan Pasal 47 UUPK ”Penyelesaian sengketa diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen”. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan ”bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun undang-undang perlindungan konsumen hanya memperkenalkan 3 (tiga) macam yaitu: arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang mana bentuk atau cara penyelesaian sengketa dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 52 UUPK). Putusan yang dikeluarkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding maupun kasasi.
Lebih disarankan untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui jalur di luar pengadilan (non litigasi), karena dalam proses sengketa melalui pengadilan membutuhkan waktu penyelesaian yang lambat sehingga biaya yang dikeluarkan sangat mahal. Semakin lama penyelesaian sengketa, semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan.
Demikian jawaban kami. Terimakasih (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 04 Juli 2008

KORBAN SALAH, SOPIR DIPIDANA

Pertanyaan:
Yang saya hormati Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum. Bersama ini saya ingin menanyakan suatu permasalahan hukum yang terkait kecelakan lalulintas. Suami saya adalah seorang pengemudi atau sopir pada sebuah biro perjalanan, yang suatu ketika saat mengendarai kendaraan dengan membawa penumpang di sebuah jalan raya antar kota, menambrak seorang anak yang sedang mengendari sepeda yang keluar dari jalan kecil di pinggir jalan raya tersebut. Pada waktu kejadian, tutur suami saya ia mengendari kendaraan tidak begitu cepat, kurang lebih hanya 60 km/jam. Kecelakaan tersebut, menyebabkan anak kecil meninggal dunia, dan suami saya dipidana selama satu tahun penjara. Yang jadi pertanyaan saya adalah, mengapa suami saya dapat dihukum padahal kalau dilihat dari kronologis kejadian, termasuk dari semua penumpang mengatakan bahwa si anak kecil tersebutlah yang sebenarnya bersalah?
Terimakasih (Bu Marni/Solok)

Jawaban:

Yang kami hormati Bu Marni, sebelum kami menjawab pertanyaan Ibu perkenankan kami menyampaikan ikut prihatin atas musibah yang dialami suami Ibu, semoga peristiwa tersebut dapat menjadi hikmah bagi suami dan keluarga Ibu semua. Amin.
Dalam kasus kecelakaan di jalan raya sebagaimana yang dialami oleh suami Ibu tersebut, banyak yang menayakan. Perlu untuk diketahui bahwa kecelakaan di jalan raya, merupakan sesuatu hal yang tidak dikendaki, baik oleh pengendara maupun oleh korban itu sendiri, semua adalah merupakan faktor ketidak sengajaan.
Merujuk dari hal tersebut, kita dapat menilik undang-undang yang merumuskan mengenai kecelakaan, Pasal 359 KUHP yang menyebutkan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”, dengan adanya rumusan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa hal tersebut dapat dipakai untuk mengajak para pengendara kendaraan agar selalu dalam mengendari kendaraannya berhati-hati di jalan, baik dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun.
Disamping itu pengendara juga harus dianggap tahu dan dapat memperhitungkan akan adanya segala sesuatu yang mungkin terjadi di jalan jika bertindak tidak hati-hati atau kurang waspada, kaitannya dengan kemungkinan setiap saat dan setiap kondisi dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Bertitik tolak dari pendapat Vos yang menyatakan unsur-unsur kealpaan yaitu: pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat kelakuannya; dan pembuat “kurang hati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab), dengan kata lain, andaikata pembuat delik lebih berhati-hati, maka sudah tentu kelakuan yang bersangkutan tidak dilakukan.
Tentang kurang berhati-hati, Vos mengemukakan ada dua macam, yaitu: Pembuat tidak berlaku secara berhati-hati menurut mestinya; dan pembuat memang berkelakuan sangat berhati-hati, tetapi perbuatannya pada pokoknya tidak boleh dijalankan.
Bila pandangan tersebut dikaitkan dengan kecelakaan yang dialami oleh suami Ibu, meskipun kecepatan kendaraan suami Ibu hanya 60 km/jam (yang menurut Ibu suatu kecepatan yang tidak terlalu tinggi untuk sebuah kendaan di jalan raya), namun suami Ibu tetap dapat dikatakan kurang hati-hati atau kurang waspada karena ternyata di sepanjang jalan raya tersebut ada jalan kecil atau gang yang tentunya dapat diperkirakan akan ada pejalan kaki atau kendaraan yang keluar masuk dari gang atau jalan kecil tersebut sewaktu-waktu.
Jadi meskipun misalnya kendaraan suami Ibu kecepatannya 40 km/jam tapi si anak tetap tertabrak kendaraan suami Ibu dan meninggal dunia, maka suami Ibu tetap dapat di pidana. Hal ini merupakan kealpaan (culpa) yang disebabkan karena kesalahannya (door zijn sculd). Terlebih apabila waktu kecelakaan saat jalan ramai atau jam sibuk, maka kesalahan suami Ibu semakin besar.
Untuk dipahami, dalam perkara pelanggaran Pasal 359 KUHP tergolong dalam bentuk kealpaan berat (culpa lata). Jika ada kesalahan dari si korban, tetap tidak akan menghapuskan kesalahan suami Ibu. Demikian jawaban yang kami sampaikan. Semoga dengan penjelasan ini dapat semakin menambah kuat hati Ibu, suami dan keluarga dalam menerima cobaan. Amin (Doni F. Jambak, S.H., A. Waldemar & Partners Law Firm)