Jumat, 26 September 2008

Tertipu, Mengapa Malah Jadi Tersangka?

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya bekerja sebagai wiraswasta di Kota Padang. Saat ini saya sedang menghadapi kasus pidana. Garis besar jalan ceritanya sebagai berikut: saya diajak kerjasama bisnis oleh orang yang bernama AZ, dalam kerjasama bisnis tersebut saya telah memberikan uang sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) sebagai modal bisnis. Berdasarkan kesepakatan diantara kami, saya akan mendapat keuntungan sebesar 10% per bulan. Dalam kerjasama tersebut AZ telah menjaminkan sertifikat hak milik atas nama orang lain, dengan surat kuasa dari pemilik tanah tersebut, yang isinya memberikan hak kepada AZ untuk menggunakan sertifikat tanah tersebut untuk jaminan peminjaman modal.
Dengan bekal surat kuasa tersebut saya mau melakukan kerjasama bisnis dengan AZ. Namun setelah satu bulan berlalu, diketahui bahwa surat kuasa tersebut ternyata palsu, hal tersebut diketahui karena adanya laporan dari pemilik tanah sertifikat terhadap AZ, yang saat ini AZ telah ditahan oleh Kepolisian.
Kepolisian kemudian mendatangi saya untuk meminta sertifikat hak milik yang telah diserahkan kepada saya oleh AZ tersebut. sebenarnya saya keberatan untuk menyerahkan sertifikat hak milik tersebut kepada Polisi, tetapi karena Polisi mengatakan bahwa saya kemungkinan juga tersangka dalam perkara tersebut dan dapat juga ditahan, saya serahkan juga akhirnya sertifikat kepada Polisi, karena saya takut di tahan. Yang saya tanyakan adalah, apakah benar saya juga dapat dijadikan tersangka dalam perkara tersebut dan ditahan?
Demikianlah pertanyaan saya. Terimakasih atas jawaban yang Bapak berikan.
(Mizan/Padang)

Jawab:
Saudara Mizan yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan, perlu Saudara ketahui bahwa ketika melakukan perjanjian, Saudara harus hati-hati dan teliti dalam melihat, membaca dan perlu mempelajari secara lebih saksama isi perjanjian yang ada, terlebih jika dalam sebuah perjanjian tersebut menggunakan jaminan. Sebaiknya jaminan tersebut perlu diteliti lebih lanjut, siapa pemiliknya dan dimana keberadaan barang jaminan tersebut.
Apalagi dalam kasus Saudara tersebut barang yang dijadikan jaminan bukan milik orang yang yang menjaminkan, melainkan menjaminkan melalui surat kuasa dari pemiliknya. Penelitian yang Saudara lakukan, Saudara akan mengetahui tingkat kesulitannya (resikonya) barang jaminan, bila tinggi resiko barang jaminannya sebaiknya Saudara menolak jaminan tersebut dan memohon untuk diganti dengan barang jaminan lainnya yang memang benar-benar dapat dijadikan jaminan (aman dan tidak bermasalah).
Sebaiknya untuk lebih amannya ketika Saudara membuat perjanjian melalui atau dihadapan notaris, karena jika suatu hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat dijadikan bukti yang sifatnya otentik (Pasal 1867 KUHPerdata).
Mengenai pertanyaan Saudara mengenai apakah Saudara dapat dijadikan tersangka dalam kasus tersebut dan dapatkah ditahan, maka perlu untuk diketahui bahwa seseorang disangka atau didakwa telah melakukan tindak pidana tentunya setelah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Jika Saudara dilibatkan dalam perkara tersebut, maka Saudara tentunya nantinya akan diperiksa hanya sebagai saksi terhadap tindakan yang dilakukan AZ.
Ketika Saudara diperiksa sebagai saksi, Saudara berikanlah keterangan yang sebenarnya bahwa Saudara tidak mengetahui bahwa ternyata surat kuasa tersebut adalah palsu. Jika dalam proses penyidikan ternyata Saudara memang sama sekali tidak melakukan perbuatan pidana dan didukung oleh niat ataupun motivasi yang ada bahwa Saudara jelas-jelas tidak melakukan tindak pidana yang terkait dengan surat kuasa palsu tersebut, maka kedudukan Saudara tentunya tidak akan berubah menjadi tersangka dan Saudara tidak akan ditahan.
Sebagai saran, untuk menunjukan bahwa Saudara mempunyai itikad baik, sebaiknya Saudara juga melaporkan AZ kepada Polisi, karena telah melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP), apalagi jika keuntungan-keuntungan yang seharusnya Saudara dapat dalam perjanjian belum pernah Saudara peroleh.
Demikianlah jawaban dari kami semoga bermanfaat, terimakasih. (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)

Jumat, 19 September 2008

HUKUMAN PERCOBAAN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat Fakultas Sastra. Saya ingin mengetahui mengenai masalah hukuman. Cerita singkatnya adalah sebagai berikut: dua bulan yang lalu saya diajak teman untuk melihat persidangan teman yang terlibat perkara narkotika. Setelah mengikuti sidang tersebut saya sempatkan diri untuk melihat salah satu sidang pidana di ruang sidang sebelah yang ternyata hari itu persidangan beragendakan putusan hakim. Bunyi dari putusan hakim tersebut adalah si terdakwa dijatuhi hukuman percobaan atas perbuatannya melakukan tindak pidana penggelapan. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang dimasud dengan hukuman percobaan?
Demikianlah pertanyaan saya atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.
(Aldo/ Padang)

Jawaban:
Terimakasih atas perhatian Saudara terhadap konsultasi hukum ini, walaupun Saudara dari mahasiswa Fakultas Sastra. Berhubungan dengan pertanyaan Saudara mengenai hukuman percobaan akan kami jelaskan sebagai berikut, bahwa sanksi percobaan di Indonesia di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikenal dengan istilah KUHP, pada Pasal 14a ayat (1) disebutkan “jika dijatuhkan hukuman penjara yang selama-lamamnya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan di antaranya tidak termasuk hukuman kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan, bahwa hukuman itu tidak dijalankan, keculai kalau di kemudian hari ada perintah lain dalam keputusan hakim. Oleh karena terhukum sebelum jatuh tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang akan sekiranya diadakan dalam perintah itu.
Dengan demikian, dalam Pasal 14a ayat (1) KUHP diatas, pada pokoknya adalah orang (si terdakwa) dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika ternyata bahwa terhukum sebelum habis masa percobaan berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim dengan si terdakwa.
Jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman tersebut tidak dilakukan. Maksud dari penjatuhan hukuman semacam ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terhukuman (terpidana) supaya dalam waktu masa percobaan tersebut memperbaiki diri dengan tidak berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan pengaharapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya tersebut tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya. Hukuman dengan “bersyarat” ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal penjatuhan hukuman penjara tidak lebih dari satu tahun (Keputusan MA No. 52 K/Kr/1970) dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda, jadi hukuman penjara lebih dari satu tahun dan kurungan pengganti denda tidak mungkin dijatuhkan dengan bersyarat semacam ini.
Selanjutnya dalam Pasal 14b ayat (1) KUHP mengatur tentang lamanya waktu untuk masa percobaan yaitu untuk perkara kejahatan dan pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, 504 , 505, 506, dan 536 maka lamanya masa percobaan selama-lamanya tiga tahun, untuk perkara pelanggaran yang lain setinggi-tingginya dua tahun dan untuk syarat atau perjanjian antara hakim dan terdakwa dalam Pasal 14c ayat (3) KUHP tidak boleh membatasi kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik.
Perjanjian-perjanjian atau syarat-syarat yang dapat diberikan itu ada du macam, yaitu syarat umum (tidak boleh berbuat tindak pidana lagi) dan syarat istimewa (apa saja yang mengenai kelakuan dan sepak terjang terhukum asal tidak mengurangi kemerdekaan agama dan kemerdekaan politik).
Demikianlah penjelasan singkat yang kami sampaikan, terimakasih

Jumat, 12 September 2008

HAK ASUH ANAK HASIL NIKAH TAK TERCATAT

Pertanyaan:
Yang kami hormati Bapak pengasuh konsultasi hukum. Dengan ini saya ingin menanyakan permasalahan kakak saya, dengan uraian sebagai berikut: kakak saya sebut saja namanya W telah menikah dengan seorang laki-laki sebut saja namanya P. Perkawinan mereke berdua sejak semula tidak mendapat restu dari orang tua kami. Orang tua beralasan karena perbedaan keyakinan. P adalah seorang yang belum bekerja (pengangguran), namun W tetap saja nekat untuk menikah dan pindah keyakinan mengikuti keyakinan P. Alhamdulillah saat ini mereka telah dikarunia seorang anak perempuan yang cantik berumur satu tahun.
Perkawinan mereka berdua dilakukan berdasarkan keyakinan P. Selidik punya selidik ternyata perkawinan tersebut tidak didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Perlu untuk diketahui selama dalam perkawinan, W sering mendapat kekerasan dari P maupun dari orang tuanya (mertua W). Melihat kenyataan tersebut, W tidak tahan lagi akhirnya W pergi meninggalkan P dan pulang ke rumah orang tua kami. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah, bahwa anak perempuan hasil perkawinan W dan P semenjak lahir dirawat oleh orang tua P, bahkan W dilarang merawatnya dan saat inipun W justru tidak dibolehkan menemui anaknya.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah secara hukum kakak saya/W bisa mendapatkan dan mengasuh anaknya? Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya. (Rika/Padang)

Jawab
Yang kami hormati saudari Rika. Pertama kami mengucapkan terimakasih atas perhatian saudari Rika pada rubrik konsultasi hukum ini, semoga jawaban yang kami sampaikan dapat membantu saudari dan keluarga menyelesaikan masalah kakak saudari.
Menilik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak didaftarkannya perkawinan ke Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang melangsungkan perkawinan bagi pemeluk non Islam ataupun ke Kantor Urusan Agama bagi mereka yang melangsungkan perkawinan pemeluk Islam, berakibat tidak ada bukti tertulis atau surat yang menjelaskan telah terjadinya suatu perkawinan dan tidak diakuinya secara sah perkawinan tersebut oleh hukum positif.
Oleh karena itu, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak di daftarkan atau dicatatkan tersebut, menimbulkan akibat hukum bahwa anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Terkait dengan permasalahan yang saudari sampaikan, karena perkawinan kakak saudari yang dilangsungkan tidak didaftarkan atau dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan Kantor Catatan Sipil, dengan demikian orang tua dari anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut hanya mengikuti ibunya (kakak Saudari/W). Sedangkan bapaknya / P tidak dapat diakui sebagai orang tuanya.
Dengan demikian, ibu dari si anak mempunyai hak dan tanggung jawab penuh terhadap anak yang dilahirkannya, baik untuk memelihara maupun membiayainya. Ibu si anak ataupun keluarga ibu si anak berhak meminta si anak dipelihara ibunya, apabila si anak berada dalam pemeliharaan bapaknya atau keluarga bapaknya. Bila permintaan ibu secara baik-baik tidak digubris, maka dapat dimintakan secara paksa dengan alat Negara melalui jalur pengadilan.
Namun sebelum menempuh jalur pengadilan tersebut, sebaiknya perlu dipersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan hubungan hukum si anak dengan ibunya (kakak Saudari/W), seperti keterangan lahir dari bidan atau rumah bersalin atau rumah sakit, jika ada akta kelahirannya lebih bagus (yang tentu saja jika tidak ada perkawinan bearti orang tua si anak yang tercatat adalah hanya ibunya saja) beserta bukti lainnya yang berhubungan.
Walaupun demikian, kami menyarankan kepada saudari dan keluarga sebaiknya mengutamakan penyelesaian secara kekeluargaan dan langkah jalur pengadilan sebaiknya dijadikan langkah terakhir, sebab penyelesaian secara kekeluargaan adalah merupakan jalan penyelesaian yang terbaik.
Demikianlah penjelasan dari kami, terima kasih.