Jumat, 28 November 2008

ORMAS DAN KEBEBASAN

Pertanyaan:
Assalamualaikum. Desawa ini banyak bermunculan Ormas-ormas atau kumpulan Ormas yang lahir sebagai reaksi atas isu-isu yang berkembang di masyarakat. Tak jarang, isu-isu itu sendiri dimunculkan oleh tokoh-tokoh Ormas itu sendiri, yang mengherenkan kumpulan Ormas-ormas yang biasanya berbentuk forum-forum itu sering berganti nama sesuai isu yang diusung, tapi anggota/tokohnya itu-itu saja.
Mengingat kehadiran ormas tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan-persolan baru khususnya hukum, hankam dan sos-pol, maka perlu dipertanyakan beberapa hal berikut: 1) apakah setiap kelompok masyarakat diberikan kebebasan oleh undang-undang membentuk Ormas; 2) bagaimana legalitas Ormas-ormas tersebut dalam aktivitasnya yang menyangkut kepentingan dan keamanan masyarakat; 3) apakah setiap ormas harus berbadan hukum; 4) bolehkah suatu ormas (baik yang legal atau tidak) mengatas namakan seluruh masyarakat/etnis/umat tertentu dalam menyuarakan kepentingannya; 5) apakah suatu ormas (apapun legalitasnya) boleh melarang/membubarkan suatu instansi/ormas lainnya yang berbadan hukum; 6) apakah alasan yuridis yang menyebabkan suatu ormas dapat dibuabarkan.
Demikian pertanyaan. Terimakasih (Drs. Hafizur Zainun, Padang)

Jawab
Bapak Hafizur yang kami hormati. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berkumpul. Hak tersebut telah menjadi hak asasi manusia dan dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Namun kebebasan tersebut bukan kebebasan yang semaunya, ada aturan hukum yang membatasi. Hal tersebut dilakukan untuk melindungan hak asasi manusia yang lainnya.
Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) merupakan salah satu bentuk cara berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Defenisi tersebut memberikan pendapat bahwa Ormas dapat saja mengatas namakan suatu masyarakat/etnis/agama tertentu, karena itu merupakan alasan kenapa dia hadir.
Ormas dalam pembentukannya harus di laporkan kepada pemerintah. Pada pendirian Ormas tidak perlu berbentuk badan hukum.
Perlu untuk ditekankan bahwa setiap orang tidak boleh main hakim sendiri (eigen rechten). Karena negara berdasarkan hukum maka hukumlah yang nanti yang memberikan sanksi terhadap pelaku. Termasuk juga Ormas tidak dibenarkan untuk melakukan pembubaran Ormas yang lain dengan cara-cara kekerasan.
Organisasi berbentuk Ormas yang berhak membubarkannya yakni pemerintah. Hal ini dapat kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa “pembekuan dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan”. Ini berarti bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat nasional maka pemerintah pusatlah yang berwenang untuk membekukan dan membubarkan, namun bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat hanya daerah maka kepala daerahlah yang membekukan dan membubarkannya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.”
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 21 November 2008

Kealpaan Menyebabkan Kebakaran

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya mau menanyakan mengenai peristiwa atau masalah yang terjadi pada saudara saya. Baru-baru ini saudara saya mengalami masalah, rumah yang telah dibangun secara bertahap beberapa tahun dengan uang jerih payahnya habis terbakar dalam waktu sekejap. Dari informasi yang diterima oleh saudara saya tersebut diketahui bahwa kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian tetangga tidak mematikan kompornya. Dalam masyarakat ada pandangan bahwa kebakaran merupakan suatu musibah yang tidak dapat diminta pertanggung jawaban karena pelaku sendiri mengalami kerugian pula atas kebakaran tersebut.
Pertanyaan yang mau saya sampaikan adalah apakah tetangga yang lalai mengakibatkan kebakaran rumah saudara saya tersebut dapat dilaporkan ke Polisi dan dihukum. Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.
(Bapak Syafnil di Padang)

Jawaban:
Bapak Safnil yang kami hormati. Terlebih dahulu kami ucapkan terimakasih atas perhatian Bapak dalam rubrik konsultasi hukum ini. Kami turut prihatin terhadap musibah kebakaran yang dialami saudara Bapak.
Kebakaran merupakan suatu musibah. Namun apabila terjadinya kebakaran tersebut karena kelalaian/kesalahan seseorang, musibah tersebut menjadi cerita lain, pelakunya dapat diminta pertanggung jawaban. Dalam masyarakat jarang kita dengar orang yang mengalami kebakaran yang disebabkan kelalaian tetangganya, tetangganya itu di laporkan ke Polisi. Hal ini disebabkan karena kebakaran tersebut juga dialami oleh tetangganya dan tetangganya itu juga mengalami kerugian. Sehingga peristiwa tersebut dianggap sebagai musibah saja. Pandangan tersebut terus berkembang dalam masyarakat.
Padahal bila kita melihat dari kaca mata hukum khususnya hukum pidana, tindakan seseorang yang karena kelalaian/kesalahannya menyebabkan kebakaran bagi orang lain dapat dipidana (dihukum). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 188 KUHP, yang berbunyi ”Barangsiapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati”.
Isi pasal di atas, menggambarkan bahwa perbuatan kebakaran dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa). Oleh karena itu, untuk memahami apa itu kesalahan/culpa tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu.
Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan sebagai ”kurang mengambil tindakan pencegahan” atau ”kurang berhati-hati”. Lainhal pandangan ahli. Unsur kealpaan menurut Vos ada dua macam, yaitu pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya dan pembuat ”kurang hati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab).
Pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya menunjukkan adanya hubungan antara batin pembuat dengan akibat yang timbul karena perbuatannya. Selain daripada adanya hubungan batin ini, tentu saja harus ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan pembuat dengan akibat yang dilarang. Jika hubungan kausal (sebab akibat) tidak ada maka tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan.
Vos mengemukakan, bahwa kurang hati-hati ada dua macam, yaitu: pembuat tidak hati-hati menurut semestinya atau pembuat memang berlaku sangat hati-hati, tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dijalankan.
Tindakan yang terjadi pada uraian yang Bapak utarakan tersebut dapat digolongkan kepada kealpaan tidak disadari (onbewuste schuld), hal tersebut terlihat dari tetangga yang menyebabkan kebakaran tersebut tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat yang menyertai perbuatannya (lupa mematikan kompor), tetapi ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tindakannya (lupa mematikan kompor) tersebut berupa kebakaran rumah yang juga dapat berdampak kebakaran kepada rumah tetangganya.
Atas kebakaran rumah yang saudara Bapak alami itu dapat dilaporkan ke Polisi untuk dipertanggung jawabkan oleh tetangganya yang menyebabkan rumahnya terbakar. Oleh karena itu, tiap orang harus hati-hati dalam bertindak.
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 07 November 2008

Menyuruh Melakukan

Pertanyaan:
Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum, Saya mempunyai kasus, korbannya diculik dari rumah kemudian dikeroyok sampai babak belur. Si pelaku pengeroyokan ternyata diupah oleh seseorang. Yang mau saya tanyakan, apakah seseorang yang memberikan upah tersebut dapat dinyatakan sebagai pengeroyokan dan kalau iya, pasal berapa yang dapat menyerat otak pengeroyokan tersebut?
Demikian pernyataan saya. Terimakasih (Dodo/ Padang)

Jawaban:
Saudara Dodo yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan yang saudara ajukan perlu dijelaskan pengertian antara menyuruh berbuat (doen plegen) dengan membujuk melakukan (uitlokking). Secara yuridis dua kata tersebut memiliki maksud yang berbeda. Dalam hal menyuruh melakukan si pembuat yang materil tidak dipidana. Dimana menyuruh berbuat sebagai suatu penyertaan apabila pembuat yang sesungguhnya tidak dapat dipidana.
Sedangkan pada membujuk melakukan (uitlokking), pembuat yang sesungguhnya dapat dihukum. Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP menjelaskan bentuk daya upaya penganjuran tersebut dengan cara: pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Melihat kronologis kasus saudara kemukakan di atas, maka yang otak pelaku (intelectuele dader) penculikan (Pasal 328 KUHP) dan pengkroyokan (Pasal 358 KUHP) merupakan orang yang membujuk melakukan hal tersebut didasarkan pada pemberian uang. Hal tersebut dapat dikenakan dengan Pasal 55 KUHP.
Dalam Pasal 55 KUHP tersebut juga mengklasifikasikan turut serta melakukan kedalam 4 macam, yaitu:
Pertama: orang yang melakukan (pleger). Orang ini adalah orang yang sendirian telah melakukan perbuatan pidana. Dalam kasus saudara tentunya orang-orang yang melakukan penculikan dan pengeroyokan tersebut.
Kedua: orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Orang menyuruh melakukan merupakan orang yang tidak langsung melakukan perbuatan pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain.
Ketiga: orang yang turut serta melakukan (medepleger). Turut melakukan dalam artian bersama-sama melakukan. Dalam kasus pengeroyokan tersebut dilakukan lebih dari satu orang. Maka orang yang ikut membantu, seperti mengawasi tetapi tidak ikut memukul juga dapat dijerat dengan pasal ini.
Keempat: orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP.
Terhadap perantara (penghubung) antara orang yang membujuk dengan orang yang melakukan tindak pidana dapat juga dikenakan pidana. Hal ini merujuk pada Keputusan Pengadilan Negeri Di Bogor 7 Mei 1983 menentukan, bahwa pembujukan dengan kesanggupan upah uang kepada seorang perantara yang ia sendiri kemudian __ dengan pengetahuannya pembujuk __ telah membujuk kepada orang lain untuk melakukan membunuh seseorang yang tertentu itu dihukum sebagai pembujukan kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 340 KUHP. Menurut hukum tidak menjadi soal, oleh siapakah perbuatan yang telah itu dilakukan, jadi pembujukan pada pembujukan tersebut menurut undang-undang diperkenankan (dapat dipidana).
Pertanggungjawaban orang yang menganjurkan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dianjurkan tidak melampaui apa yang dikehendaki. Pertanggungjawaban meliputi juga akibat-akibat dari perbuatan yang dianjurkan dengan sengaja. Yang dimaksud dengan ini adalah keadaan objektif yang memberatkan. Jadi apabila pengkroyokan yang dilakukan tersebut berakibat meninggal dunia, maka si penganjur bersalah karena menganjurkan pengkroyokan yang berakibat kematian.
Apabila perintah menganjurkan perbuatan tersebut melampaui (excessus mandati), itu tidak dipersalahkan pada orang yang memberi perintah. Pembuat yang sesungguhnya yang harus bertanggung jawab mengenai itu.
Demikianlah uraian jawaban kami. Terimakasih