Jumat, 20 Februari 2009

Utang Tak Dibayar, Barang Dirampas

Pertanyaan:
Bapak Pengasuh rubrik konsultasi hukum yang saya hormati, Pada bulan Oktober 2008 silam, saya melakukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan seorang teman sebut saja namanya A sebesarnya Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Si A meminjam uang tersebut dengan alasan akan mengembangkan bisnisnya, dan berjanji uang tersebut dipinjam tidak dalam waktu lama hanya tiga bulan dan berjanji akan membayarnya pada bulan Desember 2008, namun hingga bulan ini, februari 2009, Si A tidak pernah membayar hutangnya. Setiap dihubungi melalui HP dimatikan, dan setiap kerumahnya ia tidak ditempat.
Pertanyaan saya adalah, karena tindakan Si A tidak membayar hutangnya tersebut dapatkah saya ambil saja barang-barang yang berada di rumah Si A sesuai dengan jumlah utangnya.
Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawaban yang bapak berikan. (Bapak Anto, di Padang).

Jawaban:
Bapak Anto yang kami hormati. Setiap orang yang berutang, utangnya harus dibayar. Hal ini merupakan dasar logika kita berpikir. Si A telah berutang kepada bapak, maka Si A wajib membayar utangnya tersebut. Tindakan Si A dengan tidak melakukan pembayaran terhadap utangnya merupakan bentuk wanprestasi.
Indonesia merupakan Negara hukum, maka setiap warga Negara harus patuh dan tunduk dengan hukum. Bila ada hak-hak warga negara yang dirugikan, maka warga Negara tersebut harus memperolehnya melalui jalur hukum. Namun tindakan yang bapak lakukan dengan datang ke rumah Si A dan kemudian mengambil barang-barang milik Si A, merupakan suatu bentuk tindakan melawan hukum atau main hukum sendiri (eigen rechten).
Saya memahami kondisi yang Bapak Anto alami, namun perlu Bapak Anto pahami bahwa jangan sampai untuk memperoleh hak, Bapak melanggar hukum. Jangankan hak Bapak yang akan di peroleh nantinya, malahan Bapak dapat ditahan oleh pihak kepolisian karena telah melakukan tindakan pencurian dan masuk kerumah orang tanpa izin. Hal tersebut dapat saja terjadi bilamana Si A melaporkan tindakan Bapak Anto ke Kepolisian.
Sebagai saran dari kami, bila Bapak mempunyai permasalahan seperti di atas, Bapak perlu melakukan gugatan kepada Si A ke pengadilan, karena Si A tidak membayar hutangnya. Dalam gugatan yang Bapak ajukan, disamping Bapak meminta supaya Si A membayar hutangnya, Bapak juga dapat meminta ganti rugi. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1243 KUHPerdata, “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Kemudian, biar nantinya pengadilan yang akan melakukan eksekusi dan penyitaan terhadap barang-barang milik Si A.
Demikianlah jawaban kami. Mudah-mudahan dapat membantu Bapak

Rabu, 18 Februari 2009

Hak Asuh Anak Pada Perceraian

Pertanyaan:
Saya Hormati Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum, Saya seorang bapak yang saat ini memegang amanah dari Allah dua orang anak umur 12 tahun dan 8 tahun tinggal di Kota Bukittinggi sementara isteri saya sekali seminggu bahkan bisa sekali sebulan datang dari Padang, karena dia tinggal di Padang bersama orang tuanya dan dia punya kegiatan di Padang, sekarang isteri saya minta cerai, dia ingin membawa anak yang telah saya asuh 6 tahun lamanya. Pertanyaan saya apakah isteri saya bisa membawa anak, sementara anak tidak mau tinggal sama mamanya.
Terimakasih atas jawabannya. (Bapak A, Bukittinggi)

Jawaban:
Pertama kali saya turut prihatin atas kasus yang melanda Bapak. Dalam hal terjadinya perceraian ada dua hal yang sering menjadi sengketa antara suami dan isteri. Harta dan anak sumber pertengkaran tersebut. Bila harta tidak dipermasalahkan anak yang dipermasalahkan.
Dalam kasus perceraian yang Bapak alami, anak yang dipermasalahkan. Kepada siapa hak asuh anak akan diberikan apakah kepada bapaknya atau kepada ibunya. Untuk menjawab hal tersebut kita merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 41 huruf a di tegaskan, “Akibat putusnya perkawian karena perceraian ialah: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan”.
Pasal tersebut memberikan suatu jalan keluar, bahwa bila terjadi perselisihan mengenai hak asuh anak maka pengadilanlah yang akan memutuskan bapak atau ibu yang memilki hak asuh terhadap anak-anaknya. Dalam pasal tersebut, secara umum memberikan penjelasan bahwa bapak atau ibu yang bercerai memiliki hak yang sama untuk dapat mengasuh anak-anaknya.
Bila masing-masing pihak (baik bapak atau ibu yang cerai) dapat meyakinkan hakim bahwa dialah yang lebih cocok dan tepat untuk mendidik dan merawat anak tersebut maka ialah yang akan mendapat mengasuh anak tersebut. Namun sebaliknya bila tidak dapat memberikan dalil-dalil bahwa dialah (bapak atau ibu yang bercerai) yang lebih tepat dan cocok merawat anak maka ia tidak diberikan hak mengasuh anak-anak tersebut.
Namun bila kita tilik dalam aturan yang lain, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pada Pasal 105 dijelaskan bahwa:
Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal tersebut menegaskan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun bila terjadi perceraian, menjadi hak ibunya. Jadi, anak yang berada dibawah asuhan bapak saat ini, yang belum berusia 12 tahun tersebut menjadi hak ibunya. Namun untuk anak yang berada dibawah asuhan bapak yang satu lagi yang sudah berumur 12 tahun, minta ia memilih tinggal sama bapak, ayahnya, atau tinggal dengan ibunya.
Namun pasal tersebut tidak sepenuhnya berlaku mutlak, ada beberapa hal yang dapat mengenyampingkannya, seperti ibunya orang yang sakit jiwa. Maka hak asuh anak tidak jatuh kepada ibunya. Atau memang anak tidak mau dipisahkan dari bapaknya, atau bila dipisahkan anak dari penasuhan bapaknya dapat menyebabkab si anak jatuh sakit. Bila bapak dapat membuktikan dan meyakinkan mejelis hakim hal-hal tersebut, maka hak asuh anak bisa berada ditangan bapak.
Demikianlah jawaban kami, semoga dapat membantu Bapak.

Jumat, 28 November 2008

ORMAS DAN KEBEBASAN

Pertanyaan:
Assalamualaikum. Desawa ini banyak bermunculan Ormas-ormas atau kumpulan Ormas yang lahir sebagai reaksi atas isu-isu yang berkembang di masyarakat. Tak jarang, isu-isu itu sendiri dimunculkan oleh tokoh-tokoh Ormas itu sendiri, yang mengherenkan kumpulan Ormas-ormas yang biasanya berbentuk forum-forum itu sering berganti nama sesuai isu yang diusung, tapi anggota/tokohnya itu-itu saja.
Mengingat kehadiran ormas tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan-persolan baru khususnya hukum, hankam dan sos-pol, maka perlu dipertanyakan beberapa hal berikut: 1) apakah setiap kelompok masyarakat diberikan kebebasan oleh undang-undang membentuk Ormas; 2) bagaimana legalitas Ormas-ormas tersebut dalam aktivitasnya yang menyangkut kepentingan dan keamanan masyarakat; 3) apakah setiap ormas harus berbadan hukum; 4) bolehkah suatu ormas (baik yang legal atau tidak) mengatas namakan seluruh masyarakat/etnis/umat tertentu dalam menyuarakan kepentingannya; 5) apakah suatu ormas (apapun legalitasnya) boleh melarang/membubarkan suatu instansi/ormas lainnya yang berbadan hukum; 6) apakah alasan yuridis yang menyebabkan suatu ormas dapat dibuabarkan.
Demikian pertanyaan. Terimakasih (Drs. Hafizur Zainun, Padang)

Jawab
Bapak Hafizur yang kami hormati. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan berkumpul. Hak tersebut telah menjadi hak asasi manusia dan dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Namun kebebasan tersebut bukan kebebasan yang semaunya, ada aturan hukum yang membatasi. Hal tersebut dilakukan untuk melindungan hak asasi manusia yang lainnya.
Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) merupakan salah satu bentuk cara berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Defenisi tersebut memberikan pendapat bahwa Ormas dapat saja mengatas namakan suatu masyarakat/etnis/agama tertentu, karena itu merupakan alasan kenapa dia hadir.
Ormas dalam pembentukannya harus di laporkan kepada pemerintah. Pada pendirian Ormas tidak perlu berbentuk badan hukum.
Perlu untuk ditekankan bahwa setiap orang tidak boleh main hakim sendiri (eigen rechten). Karena negara berdasarkan hukum maka hukumlah yang nanti yang memberikan sanksi terhadap pelaku. Termasuk juga Ormas tidak dibenarkan untuk melakukan pembubaran Ormas yang lain dengan cara-cara kekerasan.
Organisasi berbentuk Ormas yang berhak membubarkannya yakni pemerintah. Hal ini dapat kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa “pembekuan dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan”. Ini berarti bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat nasional maka pemerintah pusatlah yang berwenang untuk membekukan dan membubarkan, namun bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat hanya daerah maka kepala daerahlah yang membekukan dan membubarkannya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.”
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 21 November 2008

Kealpaan Menyebabkan Kebakaran

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya mau menanyakan mengenai peristiwa atau masalah yang terjadi pada saudara saya. Baru-baru ini saudara saya mengalami masalah, rumah yang telah dibangun secara bertahap beberapa tahun dengan uang jerih payahnya habis terbakar dalam waktu sekejap. Dari informasi yang diterima oleh saudara saya tersebut diketahui bahwa kebakaran tersebut terjadi karena kelalaian tetangga tidak mematikan kompornya. Dalam masyarakat ada pandangan bahwa kebakaran merupakan suatu musibah yang tidak dapat diminta pertanggung jawaban karena pelaku sendiri mengalami kerugian pula atas kebakaran tersebut.
Pertanyaan yang mau saya sampaikan adalah apakah tetangga yang lalai mengakibatkan kebakaran rumah saudara saya tersebut dapat dilaporkan ke Polisi dan dihukum. Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.
(Bapak Syafnil di Padang)

Jawaban:
Bapak Safnil yang kami hormati. Terlebih dahulu kami ucapkan terimakasih atas perhatian Bapak dalam rubrik konsultasi hukum ini. Kami turut prihatin terhadap musibah kebakaran yang dialami saudara Bapak.
Kebakaran merupakan suatu musibah. Namun apabila terjadinya kebakaran tersebut karena kelalaian/kesalahan seseorang, musibah tersebut menjadi cerita lain, pelakunya dapat diminta pertanggung jawaban. Dalam masyarakat jarang kita dengar orang yang mengalami kebakaran yang disebabkan kelalaian tetangganya, tetangganya itu di laporkan ke Polisi. Hal ini disebabkan karena kebakaran tersebut juga dialami oleh tetangganya dan tetangganya itu juga mengalami kerugian. Sehingga peristiwa tersebut dianggap sebagai musibah saja. Pandangan tersebut terus berkembang dalam masyarakat.
Padahal bila kita melihat dari kaca mata hukum khususnya hukum pidana, tindakan seseorang yang karena kelalaian/kesalahannya menyebabkan kebakaran bagi orang lain dapat dipidana (dihukum). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 188 KUHP, yang berbunyi ”Barangsiapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati”.
Isi pasal di atas, menggambarkan bahwa perbuatan kebakaran dilakukan tidak dengan sengaja (delik culpa). Oleh karena itu, untuk memahami apa itu kesalahan/culpa tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu.
Ilmu hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkan kealpaan sebagai ”kurang mengambil tindakan pencegahan” atau ”kurang berhati-hati”. Lainhal pandangan ahli. Unsur kealpaan menurut Vos ada dua macam, yaitu pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya dan pembuat ”kurang hati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggung jawab).
Pembuat dapat ”menduga terjadinya” akibat kelakuannya menunjukkan adanya hubungan antara batin pembuat dengan akibat yang timbul karena perbuatannya. Selain daripada adanya hubungan batin ini, tentu saja harus ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan pembuat dengan akibat yang dilarang. Jika hubungan kausal (sebab akibat) tidak ada maka tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan.
Vos mengemukakan, bahwa kurang hati-hati ada dua macam, yaitu: pembuat tidak hati-hati menurut semestinya atau pembuat memang berlaku sangat hati-hati, tetapi perbuatanya pada pokoknya tidak boleh dijalankan.
Tindakan yang terjadi pada uraian yang Bapak utarakan tersebut dapat digolongkan kepada kealpaan tidak disadari (onbewuste schuld), hal tersebut terlihat dari tetangga yang menyebabkan kebakaran tersebut tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat yang menyertai perbuatannya (lupa mematikan kompor), tetapi ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tindakannya (lupa mematikan kompor) tersebut berupa kebakaran rumah yang juga dapat berdampak kebakaran kepada rumah tetangganya.
Atas kebakaran rumah yang saudara Bapak alami itu dapat dilaporkan ke Polisi untuk dipertanggung jawabkan oleh tetangganya yang menyebabkan rumahnya terbakar. Oleh karena itu, tiap orang harus hati-hati dalam bertindak.
Demikianlah jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 07 November 2008

Menyuruh Melakukan

Pertanyaan:
Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum, Saya mempunyai kasus, korbannya diculik dari rumah kemudian dikeroyok sampai babak belur. Si pelaku pengeroyokan ternyata diupah oleh seseorang. Yang mau saya tanyakan, apakah seseorang yang memberikan upah tersebut dapat dinyatakan sebagai pengeroyokan dan kalau iya, pasal berapa yang dapat menyerat otak pengeroyokan tersebut?
Demikian pernyataan saya. Terimakasih (Dodo/ Padang)

Jawaban:
Saudara Dodo yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan yang saudara ajukan perlu dijelaskan pengertian antara menyuruh berbuat (doen plegen) dengan membujuk melakukan (uitlokking). Secara yuridis dua kata tersebut memiliki maksud yang berbeda. Dalam hal menyuruh melakukan si pembuat yang materil tidak dipidana. Dimana menyuruh berbuat sebagai suatu penyertaan apabila pembuat yang sesungguhnya tidak dapat dipidana.
Sedangkan pada membujuk melakukan (uitlokking), pembuat yang sesungguhnya dapat dihukum. Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP menjelaskan bentuk daya upaya penganjuran tersebut dengan cara: pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Melihat kronologis kasus saudara kemukakan di atas, maka yang otak pelaku (intelectuele dader) penculikan (Pasal 328 KUHP) dan pengkroyokan (Pasal 358 KUHP) merupakan orang yang membujuk melakukan hal tersebut didasarkan pada pemberian uang. Hal tersebut dapat dikenakan dengan Pasal 55 KUHP.
Dalam Pasal 55 KUHP tersebut juga mengklasifikasikan turut serta melakukan kedalam 4 macam, yaitu:
Pertama: orang yang melakukan (pleger). Orang ini adalah orang yang sendirian telah melakukan perbuatan pidana. Dalam kasus saudara tentunya orang-orang yang melakukan penculikan dan pengeroyokan tersebut.
Kedua: orang yang menyuruh melakukan (doen plegen). Orang menyuruh melakukan merupakan orang yang tidak langsung melakukan perbuatan pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain.
Ketiga: orang yang turut serta melakukan (medepleger). Turut melakukan dalam artian bersama-sama melakukan. Dalam kasus pengeroyokan tersebut dilakukan lebih dari satu orang. Maka orang yang ikut membantu, seperti mengawasi tetapi tidak ikut memukul juga dapat dijerat dengan pasal ini.
Keempat: orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya, dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu (uitlokker). Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP.
Terhadap perantara (penghubung) antara orang yang membujuk dengan orang yang melakukan tindak pidana dapat juga dikenakan pidana. Hal ini merujuk pada Keputusan Pengadilan Negeri Di Bogor 7 Mei 1983 menentukan, bahwa pembujukan dengan kesanggupan upah uang kepada seorang perantara yang ia sendiri kemudian __ dengan pengetahuannya pembujuk __ telah membujuk kepada orang lain untuk melakukan membunuh seseorang yang tertentu itu dihukum sebagai pembujukan kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 340 KUHP. Menurut hukum tidak menjadi soal, oleh siapakah perbuatan yang telah itu dilakukan, jadi pembujukan pada pembujukan tersebut menurut undang-undang diperkenankan (dapat dipidana).
Pertanggungjawaban orang yang menganjurkan perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dianjurkan tidak melampaui apa yang dikehendaki. Pertanggungjawaban meliputi juga akibat-akibat dari perbuatan yang dianjurkan dengan sengaja. Yang dimaksud dengan ini adalah keadaan objektif yang memberatkan. Jadi apabila pengkroyokan yang dilakukan tersebut berakibat meninggal dunia, maka si penganjur bersalah karena menganjurkan pengkroyokan yang berakibat kematian.
Apabila perintah menganjurkan perbuatan tersebut melampaui (excessus mandati), itu tidak dipersalahkan pada orang yang memberi perintah. Pembuat yang sesungguhnya yang harus bertanggung jawab mengenai itu.
Demikianlah uraian jawaban kami. Terimakasih

Jumat, 24 Oktober 2008

TERTANGKAP BASAH MENCURI

Pertanyaan:
Yang terhormat pengasuh rubrik konsultasi hukum, saya ingin bertanya masalah hukum yang menimpada adik saya. Adik saya sampai sekarang masih menganggur. Sebenarnya tidak mengganggur total, karena dia (sebut saja namanya A) diminta menjual barang orang lain ke pasar.
A berurusan dengan pihak berwajib (polisi), karena dia disangka melakukan pencurian kerbau. Saat itu pukul 04.00 WIB dini hari, A pulang dari rumah temannya lewat di sebuah jalan yang kebetulan salah satu rumah memeliki kerbau. Entah setan apa yang membujuk A untuk mengambil barang yang bukan menjadi haknya tersebut. Setelah pintu kandang dibuka oleh A, ada orang yang melihat dan langsung berteriak maling.
Akhirnya A tertangkap oleh warga dan dibawa ke Polsek setempat. Apakah A nanti akan dikenai pasal pencurian, mengingat belum sampainya membawa kerbau baru membuka kandang. Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.
Zet di Solok

Jawaban
Terimakasih atas partisipasi saudara terhadap rubrik ini. Sebelumnya saya ikut prihatin atas kondisi yang dialami oleh adik Anda tersebut, semoga peristiwa tersebut dapat menjadi hikmah. Mudah-mudahan uraian kami ini dapat memberikan kejelasan terhadap permasalahan keluarga anda.
Perlu untuk diketahui dalam hukum pidana niat atau motivasi adalah sangat urgen (penting) yang nantinya menentukan tentang kesalahan seseorang pelaku perbuatan pidana. Jika sejak awal niat seseorang pelaku memang akan mengambil barang milik orang lain atau mencuri, maka sebagaimana dalam yang Anda tulis, A berhasil membuka pintu kandang, maka bisa saja kerbau tersebut sepenuhnya berada dibawah penguasaan A.
Dalam beberapa putusan pengadilan yang ada, dalam perkara pencurian disebutkan unsur mengambil dalam delik pencurian tidaklah harus dipenuhi adanya perbuatan membawa pergi, tapi telah cukup jika barang yang menjadi objek dari perbuatan pelaku tindak pidana tersebut telah berada di bawah penguasaan sepenuhnya oleh pelaku. Karena sebenarnya dengan telah dibukanya pintu kandang tersebut, maka kerbau tersebut telah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan A. Hanya saja kebetulan karena A kepergok oleh masyarakat, sehingga ia akhirnya tidak berhasil, kalau tidak kepergok, maka kerbau tersebut jelas akan berpindah tempat dan akan dimiliki oleh A tentunya saja secara melawan hukum.
Tindakan yang dilakukan oleh adik Anda sudah tersebut tergolong percobaan (Pasal 53 KUHP). Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud membunuh orang, orang-orangnya tidak mati, hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.
Menurut pasal tersebut, maka supaya percobaan pada kejahatan (pelanggar tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. nilai sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; b. orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan c. perbuatan kejatan itu tidak jadi sampai selesai, karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri.
Untuk itu anda coba bertanya kepada A, mengapa ia sampai melakukan perbuatan tercela tersebut. Latar belakang mengapa A mencuri tersebut sangat perlu ditanyakan, karena mungkin nantinya dapat menjadi hal yang dapat meringankan perbuatannya. Karena seorang yang mencuri karena kebiasaan dan memang menjadi kebiasaannya, dengan mencuri karena adanya kondisi tertentu yang terpaksa seseorang harus melakukan pencurian, hukumnya tidak akan sama.
Demikianlah jawaban kami, terimakasih.

Jumat, 17 Oktober 2008

JAMINAN HUTANG

Pertanyaan :
Bapak pengasuh rubrik konsultasi hukum yang saya hormati. Saya seorang karyawan di perusahaan swasta di kota Padang. Saat ini saya mempunyai permasalahan hukum berkaitan utang piutang. Yang mau saya tanyakan adalah apakah barang jaminan berupa sepeda motor seharga pasaran 5 juta rupiah beserta BPKB & STNK sebagai jaminan utang boleh dijual atas hutang orang yang meminjam sebesar 9 juta rupiah. Karena yang punya hutang tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan dan tidak bisa dihubungi lagi. Berutang berjanji dua minggu akan datang menyelesaikan utangnya, tapi setelah dua bulan tidak datang-datang dan tidak bisa dihubungi lagi. Seandainya dijual pun sepeda motor tersebut tidak mencukupi hutangnya malah masih sisa banyak. Apakah bila motor itu dijual kita bisa dituntut pasal penggelapan?
(Pak W di Padang)
Jawaban :
Terimakasih Pak W yang telah berpartisipasi mengirimkan pertanyaannya. Bahwa penyerahan benda jaminan atas perikatan utang piutang yang Bapak lakukan termasuk dalam kategori gadai. Tentang gadai ini diatur dalam Pasal 1150  KUHPerdata. Selanjutnya dalam Pasal 1151 KUHPerdata diatur bahwa persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok.
Secara yuridis, pihak yang berpiutang terutama pada gadai yang tertuju terhadap benda bergerak, memberikan hak preferensi dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya. Artinya Bapak sebagai pemegang gadai mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seperti seolah-olah pemilik sendiri dari benda tersebut.
Amat disayangkan dalam pertanyaan Bapak tidak menyebutkan apakah perjanjian utang piutang dengan jaminan dibuat secara tertulis atau lisan. Jika perjanjian utang-piutang itu dituangkan dalam bentuk tertulis, hal ini akan lebih memudahkan untuk melakukan perbuatan hukum lain semisal ketika hendak mengalihkan atau menjual jaminan kebendaan tersebut.  
Namun demikian, jika perjanjian gadai tersebut hanya dinyatakan secara lisan, hal ini pun tidak menjadi masalah sepanjang ada penegasan dalam kesepakatan lisan itu yang mengandung dua pernyataan debitur. Dua pernyataan itu antara lain pernyataan untuk memberikan jaminan kebendaan atas utangnya itu dan  pernyataan memberi kewenangan serta kuasa jual kepada Bapak apabila timbul kondisi debitur cedera janji. Pasal 1155 KUHPerdata memberikan kewenangan bagi Bapak untuk menjual benda gadai yang dikuasai dalam rangka pelunasan hutang. Tapi khusus jika orang yang berutang memang nyata telah melakukan cidera janji alias tidak memenuhi pelunasan yang telah disepakati.
Merucuk ketentuan KUHPerdata, ada dua cara untuk mengeksekusi benda gadai. Pertama, jika hendak dijual secara tertutup (tidak di muka umum), harus dilakukan melalui perantara pengadilan sesuai diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata. Tapi masih dengan catatan, para pihak memang telah sepakat bahwa kreditur diberikan kewenangan mengeksekusi atas benda jaminan tersebut secara penjualan langsung. Kedua, melalui bantuan kantor lelang negara sebagai bentuk penjualan di muka umum.
Berkaitkan dengan pertanyaan Bapak apakah menjual benda jaminan tersebut dapat dituntut pasal penggelapan, maka untuk menjawab hal tersebut perlu disigi ketentuan penggelapan Pasal 372 KUHPidana menyebutkan, ” Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dan ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan dengan pidana penjara...”
Selama eksekusi barang gadai dilakukan mengikuti prosedur eksekusi seperti kami paparkan di atas, maka pasal penggelapan tidak dapat dikenakan kepada Bapak. Sebab, pengalihan benda gadai itu dilakukan sesuai prosedur semestinya dan sudah menjadi kewenangan Bapak selaku pemberi utang yang dijamin oleh hukum. Kalau Bapak menempuh eksekusi lewat perantaraan hakim (pengadilan), jika permohonan dikabulkan, maka akan ada penetapan dari hakim untuk mengeksekusi benda jaminan secara tertutup (penjualan langsung). Sedangkan jika cara yang Bapak tempuh adalah menjual lewat kantor lelang negara, maka akan keluar risalah lelang sebagai dasar pengalihan.
Sebagai saran untuk Bapak, akan lebih baik bila sebelum menjual benda jaminan, komunikasikan dulu pada si pemilik benda jaminan daripada muncul persoalan di kemudian hari. Mengingat harga jual pasaran dari benda jaminan itu belum dapat menutup utang. Sebaiknya Bapak terlebih dahulu bertemu si berutang untuk membahas mengenai pelunasan sisa utang dan buat lagi kesepakatan baru mengenai hal itu.
Demikianlah jawaban kami, terimakasih. (Doni F. Jambak, S.H., A.Waldemar & Partners Law Firm)