Rabu, 25 Juni 2008

SUAP DAN KEPERCAYAAN

Pertanyaan:
Bagaimana pandangan Bapak terhadap kasus suap Kejaksaan dengan Artalita Suryani?
Apakah hukum yang terberat bila terbukti jaksa suap?
Apakah masyarakat bias percaya dengan aparat pemerintahan?
(Iin, mahasiswa Mipa UNAND)

Jawaban:
Suap-menyuap merupakan sebagian bentuk dari tindak pidana korupsi. Bila ditilik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah “suap” dikenal dengan gratifikasi. Suap (gratifikasi) merupakan bentuk delik yang tidak baru dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan KUHP yang dulu bernama (Wet book van Strafrecht/ WvS).
Adapun pasal-pasal yang mengenai suap, diantaranya:

Pasal 419 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
l. Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. Yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 420 ayat (1) angka 1 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;
2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.
(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 423 KUHP
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 425 KUHP
Diancam karena melakukan pemerasan dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian adanya;
2. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian halnya;
3. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, seolaholah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan telah menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai Indonesia dengan merugikan yang berhak padahal diketahui nya bahwa itu bertentangan dengan peraturan tersebut.
Maka terhadap kasus pejabat ataupun penegak hukum yang melakukan atau menerima suap merupakan hal yang sudah biasa dalam penegakan hukum. Karena tidak semua penegak hukum itu bersih. Menjadi sorotan publik jika kasus suap ini dilakukan oleh pejabat penegak hukum (Jaksa Agung) yang nota benen dapat dikatakan cukup kualifait dikatakan “manusia setengah dewa”. Apalagi kasus korupsi memiliki daya “magis” bagi masyarakat Indonesia ketimbangan dengan isu lain seperti kemajuan ekonomi, tingkat inflasi semakin tinggi dan lain sebagainya.

Maka terhadap kasus yang dialami oleh Jaksa Urip, penulis memandangnya merupakan suatu kebobrokan dari institusi kejaksaan __ seperti gunung es __ yang terlihat hanya sedikit namun jauh dibawahnya praktek “dagang kasus” jumlahnya banyak sekali. Boleh percaya ataupun tidak, ini merupakan pengalaman pribadi saat magang di Kejaksaan Negeri Medan. Salah seorang jaksa, berucap “kalau mau dapat duit kita perlu jemput bola ke Kepolisian untuk mendapatkan kasus yang “basah”.

Mulai dari pegawai jaksa sampai ke pada jaksa sendiri suap meyuap merupakan sesuatu yang menjadi rahasia umum di kejaksaan. Makanya atas apa yang terjadi di Kejaksaan Agung merupakan “bom waktu’ yang sudah dapat diketahui dan diprediksi akam meledak. Atas dasar itu penulis tidak terkejut dilema yang diterjadi di gedung bundar.

Bagi jaksa yang terlibat tindak pidana korupsi tentunya akan diberikan sanksi kepadanya. Namun untuk menentukan “kadar” berat dan ringanya suatu pidana berada ditangan hakim. Namun bila kita tilik dari segi yuridis bagi jaksa yang melakukan tindak pidana dapat di berikan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomr 31 Tahun 1999 jo perubahannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sanksi yang dapat diberikan dapat berupa:
Diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatanya (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004)
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000. 000.000,- (satu miliar) (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Seandainya bila dapat memilih kita akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum juga seperti malaikat. Jika pihan tersebut tidak ada yang tersisa hanya dua pilihan “penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum seperti setan atau penegak hukum seperti setan dan peraturan hukum seperti malaikat”. Maka penulis akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan seperti setan. Hal ini dilator belakangi bahwa peraturan bukanlah “nada-nada mati” namun murapakan sesuatu yang hidup makanya untuk menggerakan yang hidup tersebut perlu orang-orang yang memiliki jiwa atau hati nurani yang baik.

Masyarakat harus menyadari bahwa tidak semua penegak hukum yang melakukan hal yang serupa (tindak pidana korupsi). Masih ada orang-orang yang idialis walaupun “belum punah” dapat dihitung dengan tangan. Oleh sebab itu kita harus tetap percaya pada penegak hukum kita, namun percaya saja tidak cukup kita perlu kritisi semua kebijakan yang diambil oleh penegak hukum dan mengawasi penegakan hukum itu sendiri.

Tidak ada komentar: