Jumat, 30 Mei 2008

LEGALITAS SKB

Pertanyaan:
Salah satu istilah hukum yang populer sekarang ini ialah SKB (Surat Keputusan Bersama). Hal ini terkait dengan kontroversi SKB Ahmadiyah yang telah menjadi isu nasional maupun internasional. Yang ingin saya tanyakan seputar istilah ini adalah:1)Bagaimana sebenarnya kedudukan SKB dalam sistem peraturan perundang-undangan kita?; 2) Apakah SKB dapat menjadi sumber hukum dalam sistem hukum kita?; 3) Siapakah yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk membuat suatu SKB?; 4) Apakah SKB tersebut mutlak harus diatur dan termasuk sanksi-sanksinya?; 5) Siapakah yang berwenang mengeksekusi dan mengawasi pelaksanaan SKB tersebut?; 6) Bagaimana jika suatu SKB bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apakah harus dibatalkan dan siapa yang berhak membatalkannya?; 7) Hal-hal atau materi apa saja yang boleh diatur dalam SKB, apakah termasuk di dalamnya masalah keyakinanan keagamaan dan pemikiran atau ideologi seseorang atau sekelompok warga Negara?
Atas perhatian dan jawaban Bapak saya ucapkan terima kasih.
Wassalam Wr.Wb (Drs. Hafizur Zainun/ Padang)

Jawaban
Bapak Hafizur yang kami hormati. Pertanyaan yang Bapak utarakan sangat menarik untuk dibahas. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan, Bab XII Ketentuan Penutup Pasal 56 menyebutkan “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini”. Dengan asas undang-undang “Lex Posterior Derogat Legi Anterior”, maksudnya undang-undang yang berlaku kemudian mengenyampingkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu. Konsekuensinya istilah SKB (Surat Keputusan Bersama) tidak tepat digunakan lagi, namun istilah yang tepat ialah Peraturan Menteri. Terlepas dari apakah peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.
Menurut Algra, sumber hukum dibagi atas sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum dalam arti materiil ialah kesadaran hukum masyarakat, kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat yang dianggap seharusnya. Sedangkan sumber hukum formil menurut Utrecht, merupakan yang menjadi determinan formil membentuk hukum (formele determinante van de rechts vorming), menentukan berlakunya dari hukum. Dengan kata lain “sumber hukum dalam arti formil” itu bersangkut paut dengan masalah prosedur atau cara pembentukan dari undang-undang. SKB (Surat Keputusan Bersama) termasuk dalam sumber hukum fomil karena pembentukannya di sebutkan oleh Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Untuk memberitahukan semua, bahwa kita mesti dan harus memperhatikan bahwa segala sumber hukum Negara adalah Pancasila (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004). Singkat kata Pancasila merupakan norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm).
Khusus mengenai SKB Penodaan Agama, yang dapat mengeluarkannya yakni: Menteri Agama bersama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalah Gunaan dan/atau Penodaan Agama Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian SKB “lahir” dari koordinasi tiga instansi tersebut.
Merujuk Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, bila terjadi penodaan agama dapat dikeluarkan SKB, namun SKB yang diterbitkan hanya memuat perintah atau peringatan keras untuk menghentikan perbuatan penodaan agama dan tidak ada memuat mengenai pembubaran suatu organisasi karena yang berhak membubarkan organisasi adalah Presiden sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”. Ini berarti SKB yang dikeluarkan oleh koordinasi tiga menteri tersebut tidak ada memuat materi mengenai sanksi pidana.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 memberikan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan SKB tersebut kepada Menteri Agama bersama-sama Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bila pelaksanaan SKB menimbulkan gejolak dalam masyarakat, disinilah yang berperan Kepolisian. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 5 ayat (1) “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
SKB merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bila SKB yang dikeluarkan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka dapat diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undang dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Menilik Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 terlihat bahwa yang dilarang tersebut perbuatan dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Hal ini berarti tidak ada larangan untuk kita membuat keyakinan atau berideologi baru asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketertiban umum.
Sejalan hal tersebut, dengan Pasal 28E Undang-Undang Dasar R.I Tahun 1945 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, memberikan hak kepada setiap orang untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Hal ini untuk mempertegas, bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan berkeyakinan. Namun yang dilarang adalah tindakan nyata (action) dari pemikiran (ideologi) dan keyakinan yang dengan sengaja di depan umum melakukan penodaan terhadap agama lain (seperti menghina), atau karena keyakinan tersebut menjadi dasar untuk berbuat anarkis (seperti pembunuhan, pembakaran, dan lain sebagainya). Perbuatan tersebutlah yang dapat di hukum dengan “hukum positif”. Karena hukum positif tidak dapat menjangkau hal-hal yang berbentuk dan bersifat abstrak. Keyakinan seperti contohnya tidak dapat dijangkau oleh hukum karena hal tersebut bersifat abstrak.
Demikianlah jawaban yang kita berikan berdasarkan pandangan yuridis. Mudah-mudahan jawaban tersebut dapat mencerahkan kita secara hukum

Tidak ada komentar: