Minggu, 25 Mei 2008

Konsultasi Hukum

Pusing Kemana Harus Mengurus


Pertanyaan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati.

Saya adalah seorang ibu rumah tangga (yang bernama Ny. Rismarni) yang tidak mengerti sama sekali tentang hukum, begitu juga dengan suami. Kami dari tahun 1982 mengambil kredit di salah satu bank swasta (Bank Nasional) untuk yang ketiga kalinya kami mengambil kredit terjadilah kredit macet di tahun 1997, ini disebabkan karena krisis moneter sehingga usaha kami mengalami kebangkrutan, sehingga untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja susah. Pada tahun 1998 Bank itu (Bank Nasional) dilikuidasi, dan tahun 1997 pihak Bank menelpon kami untuk melunasi kredit kami dengan memberikan potongan (corting) dari Rp. 18.000.000,- menjadi Rp. 15.000.000,- dengan catatan harus dilunasi pada saat itu.

Di tahun 2001, pihak Bank berkirim surat bahwa Bank Nasional diambil alih oleh Bank Nusa Nasional dan Bank ini juga dilikuidasi pada tahun 2002.

Yang ingin saya tanyakan adalah kemana kami harus mengurus untuk mendapatkan sertifikat yang diagunkan tersebut, mengingat kami sudah sampai mencari informasi tentang keberadaan sertifikat tersebut sampai ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan juga ke Bank Indonesia serta ke Departemen Keuangan di Jakarta. Karena data-data kredit kami dan sertifikat yang diagunkan tidak ada di sana, maka orang-orang di Departemen Keuangan menyarankan untuk membuat sertifikat baru dengan catatan dilaporkan bahwa sertifikat yang lama dinyatakan hilang. Apabila hal tersebut saya lakukan, apakah tindakan saya ini bertentangan dengan hukum atau tidak.

Hanya sekian yang saya sampaikan, besar harapan saya semoga mendapatkan tanggapan yang bermanfaat bagi saya, sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban

Ny. Rismarni yang kami hormati. Pertanyaan yang Nyonya sampaikan menarik sekali diperbincangkan. Namun sebelum kita memaparkan jawaban atas pertanyaan tersebut, rasanya perlu kami dudukkan permasalahan mengenai kontrak. Dalam hukum kontrak (kredit) mengenal ada asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda) artinya setiap yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dengan demikian kotrak kredit yang sudah dibuat harus dilaksanakan (adanya Prestasi) oleh para pihak. Maka apabila salah satu pihak menuntut prestasi maka pihak lain berkewajiban untuk memberikan prestasi. Pemahaman dasar ini perlu dipahami untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.

Sekarang timbul pertanyaan, bank yang melakukan kontrak (kredit) telah dilikuidasi maka kepada siapa prestasi dilakukan. Untuk menjawab hal tersebut, perlu kita mensigi dalam peraturan perundang-undangan khususnya peraturan mengenai perbankan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada Pasal 37 A ayat (1) memberikan kemungkinan untuk membentuk suatu badan khusus bila terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, badan yang dibentuk yakni Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 37 A ayat (3) memberikan beberapa kewenangan kepada BPPN, salah satunya menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak mana pun, baik di dalam maupun di luar negeri; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan/atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur. Pengertian nasabah debitur sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 “Nasabah debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan”.

Lebih lanjut tugas BPPN ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, “Dalam melakukan program penyehatan BPPN mempunyai tugas: a. Penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia; b. Penyelesaian aset bank aset fisik maupun kewajiban Debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Aseef Management Unit); dan c. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi. Berlandaskan pada ketentuan tersebut pengelolaan asset bank pailit dan likuidasi menjadi tugas BPPN.

Pada 27 Februari 2004, sehubungan dengan telah terselesaikannya sebagian besar secara pokok tugas-tugas penyelesaian penyehatan perbankan nasional, dan telah mulai membaiknya kondisi makro perekonomian Indonesia, BPPN dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran. Berakhirnya tugas BPPN tersebut, segala tugasnya yang lalu diserahkan kepada Menteri Keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004, menegaskan “dengan berakhirnya tugas BPPN menyatakan seluruh data, informasi dan kearsipan yang dikelola oleh BPPN dalam rangka pelaksanaan tugasnya pada dasarnya diserahkan kepada Menteri Keuangan”.

Dengan demikian, tindakan Nyonya untuk menanyakan kepada pihak Departemen Keuangan sudah tepat. Namun bila data-data Nyonya tersebut tidak diketahui atau tidak diketemukan di Departemen Keuangan, lebih tepatnya menanyakan kepada PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, PUPN dibentuk untuk mengurus piutang Negara yang oleh pemerintah atau badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab lainnya telah diserahkan pengurusan kepadanya. Karena piutang yang terjadi antara bank nasional dengan Nyonya telah diambil oleh BPPN (dalam hal ini Pemerintah) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Singkatnya, piutang tersebut telah menjadi piutang Negara.

Untuk memperoleh kepastian besarnya piutang yang wajib diselesaikan oleh Nyonya (penanggung utang) serta syarat-syarat penyelesaian, PUPN melakukan perundingan dengan Nyonya (penanggung utang); yang hasilnya dituangkan dalam Pernyataan Bersama antara PUPN dan Nyonya (penanggung utang). Isinya berupa kata sepakat antara PUPN dan Nyonya (penanggung utang) tentang jumlah utang yang masih harus dibayar, termasuk bunga, denda yang tidak bersifat pidana serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan piutang tersebut dan memuat pula kewajiban penanggung piutang untuk melunasi utangnya. Pelunasan utang yang dilakukan kepada PUPN dengan sendirinya Nyonya nanti akan memperoleh sertifikatnya.

Dalam hal tidak ada pula data-data Nyonya di PUPN nantinya, maka tindakan Nyonya selanjutnya adalah meminta surat keterangan bahwa sertifikat yang diagunkan (kepada bank nasional yang diambil alih oleh Bank Nusa Nasional kemudian diambil alih oleh BPPN yang kemudian diambil alih lagi oleh Menteri keuangan) tersebut hilang kepada Menteri Keuangan.

Dalam hal saran orang-orang di Departemen keuangan untuk membuat sertifikat baru (pengganti) boleh saja tapi dengan surat keterangan bahwa sertifikat Nyonya hilang dari Menteri Keuangan, tanpa adanya surat tersebut nyonya tidak dapat mengurus sertifikat pengganti (sebagaimana diisyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Hal ini dilatarbelakangi bahwa sebelumnya Nyonya telah melakukan perjanjian kredit dengan bank nasional tersebut. Saran untuk membuat sertifikat baru (penganti) dengan jalan melaporkan bahwa sertifikat yang lama hilang kepada pihak Kepolisian merupakan langkah yang kurang tepat, hal ini disebabkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, Pasal 3 huruf j menegaskan bahwa “dalam melaksanakan tugasnya mempunyai fungsi pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah”, dengan kata lain setiap transaksi yang berkaitan dengan tanah (menggadaikan, jual beli, atau menggunakan sebagai kredit kepada pihak perbankan) telah terdapat catatannya di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Jadi, bila “kekeh” dilakukan juga tindakan pendaftaran tanah dengan dalih sertifikat hilang kepada Kepolisian, nantinya akan menimbulkan akibat hukum yang merugikan bagi nyonya sendiri, karena BPN tidak begitu saja mengeluarkan sertifikat pengganti dan pihak pemerintah tidak begitu saja mengabaikan piutangnya.

1 komentar:

dony mengatakan...

Dear dony yang kebetulan namanya sama dengan saya.
Saya ingin bertanya, mertua saya pada tahun 2002 meminjam uang di bank swantara, dan bank tersebut terlikuidasi. Apakah kewajiban tersebut masih harus di selesaikan, karena bank swantara sudah tidak jelas di mana keberadaanya. Beberapa kali kami menerima surat untuk mengosongkan rumah tersebut, tap anehnya surat tersebut masih menggunakan kop surat bank swantara. Karena saya tidak yakin, maka kami tidak mau membayar. Pak doni yg saya hormati
mohon penjelasan dan saran agar masalah kami bisa berjalan dan berakhir dengan baik. Karena keadaan kami tidak seperti dulu lagi, kami merasa sangat berat untuk menyelesaikan pinjaman trsebut, karena surat yg di kirim oleh bank swantara untuk mengosongkan rumah tersebut terbaca oleh ibu kami, beliau shock, dan sekarang jadi sakit2 an

Salam

Dony