Jumat, 27 Juni 2008

ADVOKAT DAN KLIEN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh rubrik yang terhormat. Saya akan berperkara di pengadilan menyangkut jabatan saya selaku kasubag di sebuah dinas Pemda. Saya tentunya membutuhkan jasa pengacara. Bagaimana sebaiknya langkah yang saya tempuh menyangkut kewajiban dan honor-honor pengacara, saya kuwatir perkara berlarut-larut, sementara uang saya habis. Surat-surat apa yang harus saya buat dengan pengacara saya. Terimakasih
(Samsul/ Padang)

Jawaban:
Bapak Samsul yang kami hormati. Saya perlu medudukkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan advokat (masyarakat lebih mengenal dengan istilah pengacara). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat istilah pengacara, prokol bambu tidak ada lagi. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, advokat adalah: orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Jasa hukum lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultansi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Jasa yang diberikan tersebut tentunya mempunyai bayaran. Bayaran tersebut disebut dengan honorarium atau fee. Besar atau kecil atau malah tidak ada honorarium ditentukan dari kesepakatan antara Advokat dengan kliennya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 “besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”.
Setelah memahami hal tersebut, jika Bapak memutuskan untuk menggunakan jasa seorang advokat dalam menyelesaikan suatu perkara, ada hal penting yang harus dilakukan yakni melakukan konsultasi pertama. Namun sebelum janji konsultasi pertama itu dibuat harus Bapak tanyakan, apakah konsultasi pertama tersebut dipungut biaya atau tidak. Umumnya untuk konsultasi pertama calon klien, advokat tidak memungut biaya tapi memberikannya secara cuma-cuma.
Agar Bapak tidak merasa kuwatir, bilamana perkara berlarut-larut sementara uang Bapak sudah habis. Maka untuk itu pada konsultasi pertama ada beberapa hal yang Bapak perlu tanyakan, diantaranya: 1.apakah pilihan untuk menyelesaikan suatu perkara yang Bapak alami melalui jalan pengadilan (litigasi) atau diluar pengadilan (non litigasi); 2.tanyakan kemungkinan untuk memenangkan perkara dan diskusikan cara sukses untuk menang; 3.tanyakan apakah ia (Advokat) benar-benar paham dan mengerti apa target yang Bapak harapkan untuk dicapai; 4.tanyakan pula bagaimana cara Bapak untuk dapat informasi mengenai kemajuan perkara secara berkala dan berapa sering harus dilakukan; 5.berapa lama dibutuhkan waktu untuk menyelesaikan perkara, kapan perlu ditanyakan apakah tidak dapat dipercepat; 6.berapa biaya yang perlu dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara; 7.kapan pembayaran akan dilakukan.
Perlu ditekankan biaya bukanlah faktor utama dalam memilih advokat. Yang terpenting dalam pemilihan advokat adalah kemampuan Advokat memberikan jasa hukum dalam menyelasaikan perkara.
Perlu diperhatikan bahwa tagihan untuk honorarium atau fee yang ditetapkan oleh advokat merupakan penilaian atas tingkat keahlian yang dipergunakan dalam menangani perkara (professional fee) (sulit, sedang atau mudah perkara), termasuk party-party cost, yaitu fee yang berkaitan langsung dalam proses beracara di pengadilan (seperti operasional fee) dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara. Masing-masing advokat mempunyai perbedaan tarif dalam menetapkan professional fee. Namun perlu ditekankan lagi besarnya fee atau honorarium seorang Advokat tergantung dari kesepakan antara klien dangan advokat itu sendiri.
Untuk meminta bantuan hukum atau meminta jasa hukum pada tahap awal. Seorang klien membuat beberapa surat diantara surat kuasa dan kontrak advokasi (pidana, perdata atau tata usaha negara tergantung perkaranya). Surat kuasa merupakan suatu surat yang memberikan beberapa kuasa kepada advokat untuk mewakili kliennya guna menyelesaikan perkara.
Sedangkan kontrak advokasi memuat mengenai besarnya honorarium yang diterima advokat. Kontrak advokasi ditentukan menurut kesepakatan bersama berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak.
Untuk menunjang pelaksanaan bantuan hukum dan memberikan jasa hukum dengan baik advokat memerlukan keterangan yang integral mengenai permasalahan dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara. Demikianlah jawaban yang kami berikan. Terimakasih.

Rabu, 25 Juni 2008

SUAP DAN KEPERCAYAAN

Pertanyaan:
Bagaimana pandangan Bapak terhadap kasus suap Kejaksaan dengan Artalita Suryani?
Apakah hukum yang terberat bila terbukti jaksa suap?
Apakah masyarakat bias percaya dengan aparat pemerintahan?
(Iin, mahasiswa Mipa UNAND)

Jawaban:
Suap-menyuap merupakan sebagian bentuk dari tindak pidana korupsi. Bila ditilik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah “suap” dikenal dengan gratifikasi. Suap (gratifikasi) merupakan bentuk delik yang tidak baru dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan KUHP yang dulu bernama (Wet book van Strafrecht/ WvS).
Adapun pasal-pasal yang mengenai suap, diantaranya:

Pasal 419 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
l. Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. Yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. Atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 420 ayat (1) angka 1 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:
1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;
2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.
(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 423 KUHP
Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 425 KUHP
Diancam karena melakukan pemerasan dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran, seolah-olah berhutang kepadanya, kepada pejabat lainnya atau kepada kas umum, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian adanya;
2. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan orang atau penyerahan barang seolah olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal diketahuinya bahwa tidak demikian halnya;
3. seorang pejabat yang pada waktu menjalankan tugas, seolaholah sesuai dengan aturan-aturan yang bersangkutan telah menggunakan tanah negara yang di atasnya ada hak-hak pakai Indonesia dengan merugikan yang berhak padahal diketahui nya bahwa itu bertentangan dengan peraturan tersebut.
Maka terhadap kasus pejabat ataupun penegak hukum yang melakukan atau menerima suap merupakan hal yang sudah biasa dalam penegakan hukum. Karena tidak semua penegak hukum itu bersih. Menjadi sorotan publik jika kasus suap ini dilakukan oleh pejabat penegak hukum (Jaksa Agung) yang nota benen dapat dikatakan cukup kualifait dikatakan “manusia setengah dewa”. Apalagi kasus korupsi memiliki daya “magis” bagi masyarakat Indonesia ketimbangan dengan isu lain seperti kemajuan ekonomi, tingkat inflasi semakin tinggi dan lain sebagainya.

Maka terhadap kasus yang dialami oleh Jaksa Urip, penulis memandangnya merupakan suatu kebobrokan dari institusi kejaksaan __ seperti gunung es __ yang terlihat hanya sedikit namun jauh dibawahnya praktek “dagang kasus” jumlahnya banyak sekali. Boleh percaya ataupun tidak, ini merupakan pengalaman pribadi saat magang di Kejaksaan Negeri Medan. Salah seorang jaksa, berucap “kalau mau dapat duit kita perlu jemput bola ke Kepolisian untuk mendapatkan kasus yang “basah”.

Mulai dari pegawai jaksa sampai ke pada jaksa sendiri suap meyuap merupakan sesuatu yang menjadi rahasia umum di kejaksaan. Makanya atas apa yang terjadi di Kejaksaan Agung merupakan “bom waktu’ yang sudah dapat diketahui dan diprediksi akam meledak. Atas dasar itu penulis tidak terkejut dilema yang diterjadi di gedung bundar.

Bagi jaksa yang terlibat tindak pidana korupsi tentunya akan diberikan sanksi kepadanya. Namun untuk menentukan “kadar” berat dan ringanya suatu pidana berada ditangan hakim. Namun bila kita tilik dari segi yuridis bagi jaksa yang melakukan tindak pidana dapat di berikan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomr 31 Tahun 1999 jo perubahannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sanksi yang dapat diberikan dapat berupa:
Diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatanya (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004)
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000. 000.000,- (satu miliar) (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).

Seandainya bila dapat memilih kita akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum juga seperti malaikat. Jika pihan tersebut tidak ada yang tersisa hanya dua pilihan “penegak hukum seperti malaikat dan peraturan hukum seperti setan atau penegak hukum seperti setan dan peraturan hukum seperti malaikat”. Maka penulis akan memilih penegak hukum seperti malaikat dan peraturan seperti setan. Hal ini dilator belakangi bahwa peraturan bukanlah “nada-nada mati” namun murapakan sesuatu yang hidup makanya untuk menggerakan yang hidup tersebut perlu orang-orang yang memiliki jiwa atau hati nurani yang baik.

Masyarakat harus menyadari bahwa tidak semua penegak hukum yang melakukan hal yang serupa (tindak pidana korupsi). Masih ada orang-orang yang idialis walaupun “belum punah” dapat dihitung dengan tangan. Oleh sebab itu kita harus tetap percaya pada penegak hukum kita, namun percaya saja tidak cukup kita perlu kritisi semua kebijakan yang diambil oleh penegak hukum dan mengawasi penegakan hukum itu sendiri.

Jumat, 06 Juni 2008

PEMBUBARAN ORMAS DAN EIGEN RECHTEN

Pertanyaan:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yang saya hormati. Saya bertanya berkaitan dengan kekerasan yang di lakukan Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) FPI (Front Pembela Islam) terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) tanggal 1 Juni 2008 di Monas. Yang mau saya tanyakan adalah apakah ormas FPI dapat di bubarkan dan bagaimana prosedurnya. Bagaimana dengan anggota yang telah melakukan tindakan kekerasan apakah dapat dipidana.
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Abdulla (Padang)

Jawaban:
Bapak Abdullah yang kami hormati. Setiap organisasi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dapat dibubarkan atau dibekukan. Namun untuk melakukan hal tersebut tidak begitu saja ada aturan “main” yang menentukan hal tersebut.
Organisasi berbentuk Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) yang berhak membubarkannya yakni pemerintah. Hal ini dapat kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menegaskan bahwa “pembekuan dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan”. Ini berarti bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat nasional maka pemerintah pusatlah yang berwenang untuk membekukan dan membubarkan, namun bila Ormas tersebut terdaftar dan bersifat hanya daerah maka kepala daerahlah yang membekukan dan membubarkannya.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa “Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: a. melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum; b, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah; c. memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.” Lebih lanjut Pasal 14 menjabarkan “Apabila organisasi kemasyarakatan yang pengurusnya masih tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan.” Ini berarti pemerintah tidak langsung melakukan pembubaran terhadap suatu Ormas melainkan harus melakukan prosedur pembekuan terlebih dahulu. Namun bila Ormas tersebut masih tetap melanggar peraturan perundang-undangan maka baru dibubarkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 Pasal 19 menjelaskan bahwa yang dimaksud “kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi: a. menyebar luaskan permusuhan antara suku, agama, ras dan antar golongan; b. memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa; c. merongrong kewibawaan dan/atau mendiskreditkan pemerintah; d. menghambat pelaksanaan program pembangunan; e. kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Apabila telah memenuhi syarat ketentuan di atas, Ormas yang bersangkutan dapat dibekukan. Sedangkan terhadap anggota yang telah melakukan kekerasan atau main hakim sendiri (eigen rechten) dapat di kenakan pidana terhadapnya. Adapun pasal yang dapat digunakan diantaranya Pasal 160 KUHP tentang tindak pidana penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana pengkroyokan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Sebagai pencerahan, Indonesia adalah Negara hukum (recht staat) yang demokrasi pancasila. Demokrasi berarti menghargai perbedaan. Bila terjadi perselisihan maka akan dilakukan musyawarah mufakat namun bila tidak ditemukan jalan keluarnya dapat menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya.
Konsekuensi dari makna prinsip Negara hukum tersebut, dapat diketahui bahwa setiap subjek hukum (baik naturlijk person (perorangan) dan recht person atau badan hukum), dalam bertindak harus berdasarkan hukum. Dengan demikian hukum merupakan “kompas” dalam melakukan segala aktivitas kehidupan yang perlu untuk diperhatikan dan dipatuhi keberadaannya oleh semua elemen bangsa (baik penegak hukum sendiri maupun masyarakat).
Demikian jawaban yang kami berikan.